Jumat, 28 Oktober 2011

PUISI-PUISI SISWA SMA 1 SUNGAI RAYA

Guruku
Karya: Ari Setiawan Kelas XF

Guruku kau selalu dihatiku
Guruku kau tak pernah lelah mengajariku
Kalaupun hujan dan panas
Guruku kau begitu sabar

Saat teman-temanku ribut tapi kau tetap semnagat mengajariku
Guruku aku sangat bangga pada mu
Dan atas jasamu aku bisa sukses

Guruku dirimu takkan kulupakan jasa dan pengorbananmu
Walaupun dirimu jauh dari hatiku
Tapi namamu akan kukenang dihatiku
Guruku aku sangat berterima kasih padamu.













Tak Mengerti
Karya: Utami (kelas XF)

Tiupan angin yang sejuk
Lambaian nyiur menyapaku
Gelapnya langit, tanpa bintang, dan sang bulan
Turunnya embun yang membasahi bumi

Sepontan bimbang entah mengapa ...
Gundah, kacau, gelisah yang kurasakan ...
Kumencari apa yang sebenarnya terjadi?
Kupejamkan matamu ini ...

Dan membaca apa yang tertulis ...
Aku kecewa ...
Mengapa, kata kecewa yang kutemukan dihatiku ...
Berdetak laju dan berlinanglah air mata ini ...

Hingga siang ini aku tak mengerti ...
Apa yang mengerti?
Dan aku terus mencari-cari ...
Perpisahan ...

Kata perpisahan yang terus menghantuiku ...
Apa?
Mengapa rasa ini terjadi, apakah dia yang akan pergi?

Jangan Tuhan ...
Aku tak sanggup ...
Karna aku sangat mencintainya ...


IBU
Karya : Erni (kelas XF)

Sembilan bulan engkau mengandungku ...
Merawat dan mendidikku ...
Hingga kutumbuh besar ...
Ibu ...
Belaian lembut dari tanganmu ...
Dan kasih sayang yang telah engkau berikan padaku ...
Akan kukenang sepanjang hidupku ...
Ibu ...
Terima kasih atas semuanya ...
Kasih sayang yang telah engkau berikan kepadaku ...
Kini sekaran kusudah tunbuh besar ...
Itu semua berkat kasih sayangmu ...
Semoga yang engkau berikan kepadaku mendapat imbalan dari Tuhan ...

Selasa, 04 Oktober 2011

KASEBEN
(Tradisi Lisan Dayak Simpang)
Oleh: Bastian Arisandi
Banua Simpang adalah istilah lokal yang dipakai oleh suku Dayak Simpang untuk menyebut satu-kesatuan-geo-politik wilayah pemukiman mereka. Dalam konteks pembagian wilayah administratif, Banua Simpang meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Simpang Hulu dan Simpang Dua Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat. Kawasan ini terletak diantara 1200 1.44 – 1200 21. 51 BT dan 60 46- 70 43. 58 LS (Institut Dayakologi, 2003: 1). Dari segi bahasa, terdapat tiga bahasa yang dituturkan oleh masyarakat Dayak Simpang. Pertama bahasa Baram, kedua bahasa Gore, dan ketiga bahasa Baya. Penduduk asli Kecamatan Simpang Dua adalah Suku Dayak dengan sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani karet dan berladang. Sedangkan suku-suku pendatang lainnya adalah Suku China (+7 %), Suku Jawa (+ 5%), Suku Papua (+3%). Sebagian besar suku pendatang tersebut adalah sebagai pedagang. Mulai dari pedagang sayur, pakaian sampai ada yang membuka mini market.
Masyarakat Dayak Simpang seperti masyarakat dayak lainnya yang mendiami Pulau Kalimantan merupakan sebuah etnik yang banyak sekali memiliki kebudayaan yang sangat menarik. Satu diantara budaya itu berupa sastra lisan. Sastra lisan merupakan karya sastra yang hanya dapat dinikmati melalui pendengaran. Sastra lisan tersebut masih banyak lagi ragamnya, yaitu cerita daerah, nyanyian lokal, dan masih banyak lagi jenis sastra lisan lainnya. Selanjutnya yang perlu untuk diperhatikan yaitu sastra lisan berupa nyanyian lokal. Mengapa demikian? Ini merupakan suatu langkah nyata dalam mengantisipasi kepunahan dari sastra lisan umumnya dan nyanyian lokal pada khususnya.
Gambar: dalam acara pernikahan adat, kaseben sering dinyanyikan oleh tetua-tetua adat.

Nyanyian lokal merupakan sastra lisan yang sangat menarik karena memiliki keunikan tersendiri yaitu dapat menghibur. Kaseben merupakan satu diantara nyanyian lokal tersebut. Kaseben merupakan lagu rakyat yang dituturkan dalam bahasa sastra yang tinggi (bahasa dalam) yang hanya dinyanyikan pada saat acara atau kegiatan tertentu. Kaseben biasanya dinyanyikan pada saat kegiatan yang bahagia, seperti acara pernikahan. Bahasa yang digunakan dalam keseben biasanya hanya dimengerti oleh orang-orang tertentu saja, sedangkan masyarakat biasa hanya bisa mendengar. Menurut F.X Beleng (53) yang merupakan Ketua Ketumanggongan (Ketua Adat) Dayak Simpang di Pontianak menjelaskan kaseben umumnya dinyanyikan atau dilagukan oleh orang-orang tua yang menghandiri suatu upacara tertentu. Selanjutnya menurut beliau tidak sembarangan orang-orang tua yang mengetahui untuk menyanyikan kaseben ini, tetapi hanya orang-orang tertentu saja. Saat ditanya apakah anda bisa menyanyikan kaseben, beliau hanya tertawa dan senyum-senyum saja.
“Saya bukannya tidak bisa, tetapi waktunya yang kurang tepat ungkapnya”. Mengenai waktu menyanyikan kaseben ini F.X Beleng yang merupakan dosen STKIP PGRI Pontianak mengungkapkan bahwa kaseben hanya bisa dinyanyikan pada saat-saat tertentu saja, ini karena berhubungan dengan makhluk halus atau roh arwah nenek moyang yang hadir pada saat tertentu tersebut. Ini sebenarnya merupakan nyanyian untuk makhluk halus dalam upacara adat tertentu, tetapi setelah mengalami perkembangan jaman kaseben dinyanyikan juga untuk menghibur manusia. Tetapi tetap harus dalam acara-acara tertentu saja. Livinus Prianidi membenarkan semua informasi tersebut. Beliau merupakan Ketua Masyarakat Simpang di Kota Pontianak. Menurut beliau kaseben ini bisa juga dilantunkan dengan musik-musik seperti gong gamal, ketawak, maupun sape.
Kaseben merupakan sebuah nyanyian yang dilagukan pada saat acara-acara tertentu yang diselenggarakan oleh masyarakat Suku Dayak yang mendiami daerah Simpang Dua Kabupaten Ketapang. Menurut FX. Beleng (52), kaseben ini nyanyian yang unik karena menggunakan bahasa dayak yang khas yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Lebih lanjut menurut beliau kaseben ini merupakan suatu budaya lisan khas dayak di Simpang Dua. Sama juga halnya dengan Martinus D. Ipoh (48) mengatakan kaseben sebenarnya merupakan nyanyian suci yang dilagukan oleh tua-tua adat pada saat acara atau upacara-upacara tertentu yang terdapat di Kecamatan Simpang Dua. Bahkan menurut beliau, sebenarnya pada masyarakat dayak lainnya juga terdapat kaseben, namun hanya penamaan saja yang berbeda disesuaikan dengan bahasa dayak yang bersangkutan. Sedangkan menurut Thomas Alexander (42) beliau berkata “berdasarkan pengetahuan saya selama hidup kurang lebih 15 tahun di kampung, jaman dulu orang-orang tua sering menyanyikan kaseben pada saat acara pernikahan dan acara-acara lainnya dimana orang tua yang satu menyindir orang tua yang lainnya dengan menggunakan kaseben ini”. Lanjut beliau yang merupakan anggota DPR Kalbar ini, “ selanjutnya orang tua yang lain akan membalas sindirian orang tua tadi dengan kaseben juga, intinya kaseben merupakan nyanyian yang digunakan untuk menyindir, mengolok dan membuat suasana menjadi riang gembira dengan menggunakan bahasa dayak yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Siapa yang tidak bisa membalas sahutan kaseben maka dianggap kalah”, ujar politisi dari Partai PDI Perjuangan ini.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa kaseben merupakan suatu budaya berupa nyanyian lisan suku dayak di daerah Simpang Dua dan sekitarnya yang dinyanyikan atau dilagukan pada saat acara-acara tertentu dengan menggunakan bahasa yang dalam yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Kaseben digunakan untuk membuat acara menjadi lebih meriah, menyindir lawan bicara, membuat lelucon dengan kata-kata yang berbeda tadi. Kaseben juga disebut sebagai nyanyian suci karena berhubungan dengan makhluk gaib.


Gambar: Kaseben dinyanyikan dengan iringan musik Gong Gamal.
Lebih lanjutnya Bapak Livinus Prianidi yang merupakan guru di sebuah sekolah swasta di Pontianak mengungkapkan, kaseben ini bisa dikatakan nyanyian yang sangat menarik dan enak untuk didengar, terkadang kita akan tertawa sendiri mendengar orang-orang yang menyanyikan kaseben. Baik F. X Beleng maupun Livinus Prianidi menolak untuk menyanyikan kaseben. Yang jelas menurut mereka bahasa dalam nyanyian kaseben merupakan bahasa yang sulit untuk dimengerti oleh orang lain. Bahasa yang terdapat dalam kaseben merupakan bahasa Dayak Dalam, mengapa demikian? Bahasa Dayak Dalam merupakan sebuah sarana komunikasi antara manusia dengan makhluk gaib sehingga bahasa ini hanya dimengerti oleh manusia tertentu saja.
Kaseben merupakan tradisi lisan masyarakat Dayak Simpang yang dinyanyikan atau dilagukan oleh beberapa orang tua yang dianggap memeilki spritual lebih mengenai hal-hal gaib. Mereka kemudian dianggap memeiliki kekuatan supranatural yang tentu saja berbeda dengan masyarakat biasa pada umumnya. Dalam menyanyikan kaseben sebenarnya tidaklah terlalu rumit , tidak membutuhkan syarat-syarat khusus. Menurut FX Beleng “kaseben ini kan hanya nyanyian, lagu dan pengantar dalam acara tertentu saja, bahkan sifatnya menjadi pelengkap dalam suatu acara tertentu agar acara atau kegiatan tersebut menjadi lebih meriah, lebih menyenangkan”.
Martinus Damamang membenarkan hal tersebut, menurut beliau kaseben bukanlah sesuatu yang magis, sesuatu yang haram, tetapi bukan juga sesuatu yang asal-asalan. Masih dari pandangan Martinus Damamang yang juga merupakan aktivis AMAN wilayah Ketapang ini, kaseben di jaman era modern ini menjadi bukan lagi hal yang sakral bagi masyarakat dayak, namun menurut beliau kaseben juga bukan hal yang menjadi nyanyian yang asal-asalan saja. Lanjut beliau “kaseben di era modern ini sudah seperti nyanyian biasa yang hanya di dengar dalam kegiatan atau acara tertentu dalam masyarakat Dayak Simpang, tetapi bukan artinya lalu mau sembarangan saja dalam mengucapkan kalimat-kalimat dalam kaseben”. Masih menurut bapak-bapak dengan kulit putih ini “setiap sesuatu dalam masyarakat dayak pasti ada makna lain, begitu juga dengan kaseben, meskipun menyanyikan tanpa syarat-syarat, namun tetap ada waktu atau momen yang tepat dalam menyanyikannya”. Berdasarkan pengetahuan beliau, kaseben ini palinng tidak bisa dinaynyikan atau dilagukan apabila ada acara atau ritual tertentu yang diikuti dengan pemanggilan arwah nenek moyang atau makhluk gaib yang kemudian untuk menghibur, membuat senang arwah-arwah tersebutlah maka beberapa orang tua menyanyikan kaseben. Dan tentu saja waktu dalam menyanyikan kaseben ini juga ada saat-saat atau momen-momen yang tepat dalam acara tersebut.
Menyanyikan kaseben merupakan suatu bentuk seberapa besar pengetahuan seseorang yang diaanggap tua dilingkungan tersebut. Menyanyikan kaseben sebenarnya merupakan suatu bentuk seberapa pintarnya seseorang dalam mengolah kata-kata biasa menjadi larik dalam nyanyian kaseben. Dalam menyanyikan kaseben tidak ada bahkan tidak memerlukan syarat-syarat khusus, hanya dalam menyanyikan ini memang harus sesuai dengan waktu dan keadaan yang tepat karena nyanyian ini masih berhubungan dengan roh nenek moyang atau jenis makhluk gaib lainnya. Dari pengetahuan Thomas Alexander, jika seseorang berani untuk menyanyikan kaseben berarti dia juga berani untuk menyatu dengan alam roh nenek moyang. “itu dulu,” pungkasnya. Lanjut lulusan Fisipol Universitas Tanjungpura ini, “sepengetahuan saya pada jaman dulu bila seseorang menyanyikan kaseben untuk mengiringi dukun dalam baliatn berarti dia siap-siap saja kehilangan raganya. Karena apa? Dalam baliatn inikan yang dipanggil roh arwah nenek moyang sedangkan menyanyikan kaseben ini berfungsi untuk menghibur mereka jadi sudah pasti orang yang menyanyikan kaseben tersebut akan pindah ke alam yang lain”. Lebih lanjut kata beliau, “pada era modern ini saya lihat jauh dari jaman dulu, sekarang ini menyanyikan kaseben bukan lagi hal yang memerlukan pengorbanan, paling-paling siap merasa malu saja karena pasti ada yang kalah dalam mengolah kata-kata tersebut”. Masih dari pandangan Thomas Alexander bahwa sekarang menyanyikan kaseben tidak seketat dulu, sekarang jika ada kegiatan seperti gawai, ngulu, pernikahan seseorang, naik dango, dan lain-lain maka kaseben sah-sah saja untuk dinyanyikan atau dilagukan, yang penting orang yang mendengarkan akan terhibur.
Kaseben sebuah budaya lokal masyarakat Simpang Dua memang beralih fungsi dari awalnya untuk menghibur makhluk-makhluk gaib atau roh-roh arwah nenek moyang sekarang dijadikan hiburan dalam masyarakat pada waktu acara-acara tertentu. Kata-kata dan bentuk nyanyian memang tidak terdapat perubahan yang mencolok, kata-kata dalam lirik kaseben tetap menggunakan bahasa Dayak Dalam, artinya bahasa yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Bahkan seiring dengan perkembangan waktu, kata-kata dalam lirik kaseben bisa saja dikembangkan oleh Si Penyanyi sesuai dengan kebutuhan (Djuweng, 2004: 9). Tidak berbeda dari pandangan Livinus Prianidi, bahwa menyanyikan kaseben tidak seerat jaman dulu. Menurut beliu, “kuncinya dalam menyanyikan kaseben ini yaitu adanya rangkaian kegiatan yang secara adat dianggap sah dan formal. Adapun beberapa acara atau kegiatan tersebut diantaranya naik dango, pernikahan adat, ngulu (beramai-ramai ke ladang) dan saya kira masih banyak lagi yang lainnya”. Lanjut guru pada sekolah swasta di Pontianak ini, “menyanyikan kaseben tadi memang hanya pada waktu-waktu tertentu saja, misal pada saat orang menikah, mengapa dimaksudkan demikian? Jadi begini, pada saat orang menikah khususnya nikah adat dalam masyarakat Dayak Simpang pasti ada musik daerah yang namanya Gong Gamal, nah pada saat mengalunkan Gong Gamal inilah terdapat beberapa orang tua yang secara bergiliran menyanyikan kaseben, biasanya berlawan dan siapa yang kalah akan meminum secawan arak yang sudah disiapkan di depan mereka masing-masing”.
Mulanya, kaseben merupakan suatu bentuk bahasa untuk berkomunikasi antara seseorang dukun (tabib) dengan makhluk halus. Dengan adanya komunikasi ini maka seseorang dukun tadi akan mengetahui penyakit, kesalahan yang mengakibatkan sakit, maupun untuk mengetahui syarat-syarat agar sakit sembuh. Dalam hal ini kaseben berguna sebagai bahasa komunikasi antara dukun dengan makhluk gaib yang dimiliki atau pun yang mengakibatkan seseorang sakit, kaseben merupakan wadah mediasi antara dukun dengan makhluk yang menyebabkan seseorang sakit. Dari pandangan FX. Beleng pada masa dulu, setiap dukun wajib tahu bahasa kaseben selain juga mengetahui mantra-mantra. Lanjut beliau yang merupakan dosen STKIP PGRI Pontianak ini asalnya kaseben dinyaynikan atau dilagukan oleh seseorang dukun, seseorang kepala adat, seseorang domong, untuk berkomunikasi dengan makhluk gaib tertentu. Livinus Prianidi juga memberikan informasi yang kurang lebih sama, beliau menambahkan mulanya kaseben erat kaitannya dengan komunikasi dengan alam, komunikasi dengan duata, ada juga yang menynyikan kaseben sebagai sarana komunikasi dengan makhluk gaib. Masih dari pandangan Livinus Prianidi, seiring dengan perkembangan jaman, kaseben tidak hanya menjadi wadah komunikasi antara manusia dengan makhluk gaib, namun lebih akrab dengan komunikasi antara manusia dengan manusia. Sedangkan komunikasi antara manusia dengan makhluk gaib lebih diutamakan dengan menggunakan mantra.
Martinus Damamang mengiyakan semua data dan informasi tersebut, tetapi beliau masih menambahkan beberapa informasi lagi. Dari kaca mata Martinus Damamang, menurut beliau “kata kakek saya dulu, kaseben ini sebenarnya merupakan nyanyian untuk membuat hantu (makhluk gaib) senang dan tidak menganggu manusia”. Lebih lanjut menurut beliau yang merupakan Ketua Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Simpang ini berujar, “setiap sore, di dukuh kami dulu kakek saya selalu menyanykan kaseben dengan harapan hantu (makhluk gaib) tidak menganggu kami sekeluarga pada saat akan beristirahat di malam harinya. Kaseben yang dinyanyikan oleh kakek waktu itu saya masih ingat yaitu berupa kata-kata bias, bahasa dalam, bahasa yang tentu saja berbeda dengan bahasa sehari-hari. Menurut kakek saya dulu, makna dari kata-kata itu adalah berbagai kata-kata pujian dan tanda memohon kepada hantu (makhluk gaib) sehingga hantu-hantu tersebut senang dan akhirnya tidak menggangu kami pada saat tidur di malam harinya”.
Lain lagi namun ada kesamaan menurut Thomas Alexander, kaseben asal mulanya memang untuk hantu, berkomunikasi dengan alam, makhluk gaib, duata, namun penekanan dari beliau bahwa kaseben ini mulanya berupa nyanyian yang asalnya manusia dapatkan dari kicauan seekor burung yang dalam bahasa kampungnya burung Ciokng. Lanjutnya, burung ini merupakan seekor burung terutama yang jantan sering menyanyikan suara yang merdu-merdu untuk menarik perhatian burung betina pada saat musim kawin. Menurut beliau dari nyanyian inilah manusia mulai meniru sehingga terciptalah kaseben ini. Setelah melalui perkembangan jaman, nyanyian ini pun semakin populer di kalangan masyarakat dayak pada masa itu (jaman dulu), masih menurut Thomas Alexander, setiap sub-suku dayak sebenarnya ada yang berjenis kaseben ini (Bahasa Dayak Simpang –red) namun setiap sub-suku tersebut tentu saja berbeda dalam hal penyebutan kata-kata, dan penamaan.

Dari sekian banyak infomasi dan data yang ada, dapat dikatakan bahwa sebuah kaseben awal mulanya merupakan nyanyian yang diciptakan dengan meniru suara nyanyian dari seekor burung, stelah mengalamai perkembangan waktu, kaseben menjadi sarana komunikasi antara manusia dengan makhluk gaib, bahkan juga sarana komunikasi antara manusia dengan duata (Tuhan-red). Kaseben merupakan sebuah sarana mediasi antara manusia dengan makhluk gaib khususnya agar tidak mengganggu kehiudpan manusia. Dapat dikatakan pula dengan adanya kaseben ini diharapkan tetap terjadi suatu hubungan yang harmonis antara manusia dengan makhluk lainnya. Jika manusia mengganggu maka akan terjadi lah yang namanya sampar dan masih banyak lagi hukuman yang diberikan oleh makhluk gaib itu, entah berupa sakit, dan bencana. Dengan adanya kaseben inilah melalui perantara seorang domong (kepala adat) diharapkan jika manusia telah menggangu makhluk gaib maka manusia wajib untuk meminta maaf dengan menyanyikan lagu kaseben disamping juga mengucapkan mantra dan memberikan sesajian lainnya.
Bahasa kaseben merupakan bahasa yang tidak sembarangan diucapkan. Kaseben ini sebenarnya pada jaman dulu merupakan sebuah nyanyian yang digunakan untuk menghibur para makhluk gaib yang dipanggil oleh dukun dalam upacara-upacara tertentu. Upacara yang dimaksud bisa saja berupa Naik Dango, Pernikahan, Baliatn dan masih banyak lagi yang lainnya. Kaseben sebenarnya merupakan alat komunikasi antara manusia dengan makhluk gaib. Menurut F.X Beleng semakin majunya dan semakin modernnya kehidupan manusia, lantas kaseben pun beralih fungsi menjadi sarana komunikasi antara manusia satu dengan manusia lainnya dengan maksud untuk mengukur kepintaran seseorang. Sehingga di era modern ini, kaseben menjadi tolak ukur kepintaran dan kecakapan orang-orang tua dalam mengucapkan dan menyanyikan kaseben. Kaseben menjadi dinyanyikan secara balas-membalas, dalam artian kurang lebih seperti berbalas pantun. Tetapi tetap menggunakan bahasa Dayak Dalam dan harus dalam acara-acara tertentu.
Setelah memasuki era modern, kebudayaan dayak yang unik ini pun mulai ditinggalkan oleh kaum mudanya. Masyarakat Dayak Simpang, khususnya kaum muda lebih menyenangi musik-musik modern. Meskipun pada kenyataanya musik modern itu tidak terlalu menarik bagi sebagian masyarakat, tetapi mereka tetap memilih dan menyukai musik modern dari pada nyanyian daerah seperti misalnya kaseben ini.

“Kaum muda seolah-olah tidak memahami bahwa budaya lokal itu penting untuk dipertahankan”, tutur FX Beleng dengan raut muka yang berbeda. Lanjut beliau “yang muda seakan-akan malu untuk mempertahankan kearifan lokal dari budaya mereka sendiri, seperti kaseben ini. Entah sampai kapan nyanyian ini akan bertahan”. Memang dari beberapa fakta di kampung, khususnya Simpang Dua, kaseben ini seolah-olah hanya menjadi nyanyian bagi orang-orang tua. Kaseben seperti kehilangan penggemarnya. Para kaum muda lebih menyukai lagu-lagu populer dari band-band seperti ST 12, Radja, dan masih banyak band-band lainnya.
Ini dibenarkan juga oleh Livinus Prianidi yang merupakan ketua masyarakat Simpang di Pontianak. Menurut beliau orang-orang dayak terutama kaum mudanya sudah mulai kehilangan jati diri untuk mencintai budaya sendiri. “saya ambil masyarakat simpang contohnya, kaum muda lebih cenderung untuk mendengarkan musik-musik modern, bahkan beberapa dari mereka lebih menyukai lagu-lagu dengan bahasa asing seperti bahasa Inggris dan bahasa India”. Setelah begitu banyaknya lagu-lagu asing yang masuk ke dalam masyarakat Dayak Simpang, kaum muda seloah-olah terbius oleh lagu-lagu tersebut dan perlahan tetapi pasti mulai merlupakan nyanyian lokal seperti kaseben ini. Kaum muda lebih suka untuk mendengar lagu-lagu seperti “setia dari zivilia, lagu-lagu grup band Ungu, dan lagu-lagu lainnya”. Bahkan banyakdari kaum muda Dayak Simpang yang lebih senang dengan lagu-lagu barat, seperi lagu-lagu dari MLTR, lagu-lagu Westlife, lagu-lagu GNR. Menurut Martinus Damamang, “kaum muda Dayak Simpang seperti malu untuk mendengar kaseben dan lagu lokal lainnya. Mereka tidak mau dibilang kolot, ketinggalan jaman oleh teman-temannya”, terang bapak yang merupakan kaum intelek masyarakat Dayak Simpang ini. Meskipun dari beberapa informasi bahwa kaseben mulai ditinggalkan kaum muda, namun dari pandangan beberapa kaum intelek masyrakata Dayak Simpang bahwa tidak boleh hanya menyalahkan satu pihak saja. Artinya banyak faktor yang menyebabkan kaseben ini tidak disenangi oleh kaum muda.
Menurut Thomas Alexander bukan hanya kaum muda yang perlu untuk dipersalahkan, tetapi mari kita lihat hakikat dan dasar dari kaseben itu sendiri. Ujar beliau “kaseben ini kan aslinya bahasa komunikasi dengan makhluk gaib, bahasa yang digunakan juga merupakan bahasa dayak dalam, jadi yang mengerti tentu saja orang-orang tua sedangkan kaum mudanya tidak, jadi menurrut saya itulah yang menjadi tidak menariknya kaseben ini karena hanya kaum tua yang bisa mengerti sedangkan kaum muda tidak”. Lanjut politisi dari PDI Perjuangan ini, “memang dasarnya kaseben ini untuk orang tua saja kok, yang memiliki pengetahuan tentang makhkluk gaibkan hanya mereka-mereka ini sedangkan yang muda tidak, kaum muda akan mempelajari pengetahuan mendalam dalam artian belajar tentu pada saat dia sudah tua juga, sehinga ia juga akan mengetahui bahasa pada nyanyian kaseben pada saat ia sudah tua karena seiring dengan belajar pengetahuan yang berhubunagn dengan makhluk gaib tadi”.
Sebanding dengan kebudayaan daerah lainnya, kaseben juga diambang kepunahan. Martinus Damamakng (45) mengungkapkan “sangat disayangkan generasi muda dayak tidak begitu tertarik dengan kaseben, karena dianggap nyanyian kuno dan ketinggalan jaman”. Lanjut beliau lambat laun kaseben ini jika tidak dilestarikan akan turut punah seiring dengan meninggalnya orang-orang tua yang tahu menyanyikan kaseben. Dari segi yang tahu akan kaseben, memang sangat logis jika kaseben akan punah. Dikatakan demikian karena para kaum muda dayak, khususnya Dayak Simpang tidak begitu tertarik mempelajari kaseben. Akibatnya, sangat minim masyarakat Dayak Simpang yang tahu untuk menyanyikan kaseben ini. Martinus Damamang membenarkan bahwa di lapangan sangat minim masyarakat yang tahu menyanyikan kaseben. Dari pandangan beliau yang merupakan Pengurus Yayasan Pancur Kasih Pontianak kepunahan suatu budaya umumnya dikarenakan semakin lunturnya rasa mencintai dan menyayangi budaya tersebut. Masih menurut beliau, kaum muda dayak harus mencintai budaya yang ada sehingga tertarik untuk mempelajari budaya itu. Beliau mengambil contoh, kaseben, bisa untuk diantisipasi kepunahannya dengan mempelajari kaseben dan mencintai kaseben, sehingga timbul keinginan untuk melestarikan kaseben.

KASEBEN

KASEBEN
(Tradisi Lisan Dayak Simpakng)


Peta Kabupaten Ketapang
Banua Simpang adalah istilah lokal yang dipakai oleh suku Dayak Simpang untuk menyebut satu-kesatuan-geo-politik wilayah pemukiman mereka. Dalam konteks pembagian wilayah administratif, Banua Simpang meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Simpang Hulu dan Simpang Dua Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat. Kawasan ini terletak diantara 1200 1.44 – 1200 21. 51 BT dan 60 46- 70 43. 58 LS (Institut Dayakologi, 2003: 1). Dari segi bahasa, terdapat tiga bahasa yang dituturkan oleh masyarakat Dayak Simpang. Pertama bahasa Baram, kedua bahasa Gore, dan ketiga bahasa Baya. Penduduk asli Kecamatan Simpang Dua adalah Suku Dayak dengan sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani karet dan berladang. Sedangkan suku-suku pendatang lainnya adalah Suku China (+7 %), Suku Jawa (+ 5%), Suku Papua (+3%). Sebagian besar suku pendatang tersebut adalah sebagai pedagang. Mulai dari pedagang sayur, pakaian sampai ada yang membuka mini market.
Masyarakat Dayak Simpang seperti masyarakat dayak lainnya yang mendiami Pulau Kalimantan merupakan sebuah etnik yang banyak sekali memiliki kebudayaan yang sangat menarik. Satu diantara budaya itu berupa sastra lisan. Sastra lisan merupakan karya sastra yang hanya dapat dinikmati melalui pendengaran. Sastra lisan tersebut masih banyak lagi ragamnya, yaitu cerita daerah, nyanyian lokal, dan masih banyak lagi jenis sastra lisan lainnya. Selanjutnya yang perlu untuk diperhatikan yaitu sastra lisan berupa nyanyian lokal. Mengapa demikian? Ini merupakan suatu langkah nyata dalam mengantisipasi kepunahan dari sastra lisan umumnya dan nyanyian lokal pada khususnya.
Gambar: dalam acara pernikahan adat, kaseben sering dinyanyikan oleh tetua-tetua adat.

Jalan Trans Kalimantan adalah diantara akses menuju Simpang Dua
Nyanyian lokal merupakan sastra lisan yang sangat menarik karena memiliki keunikan tersendiri yaitu dapat menghibur. Kaseben merupakan satu diantara nyanyian lokal tersebut. Kaseben merupakan lagu rakyat yang dituturkan dalam bahasa sastra yang tinggi (bahasa dalam) yang hanya dinyanyikan pada saat acara atau kegiatan tertentu. Kaseben biasanya dinyanyikan pada saat kegiatan yang bahagia, seperti acara pernikahan. Bahasa yang digunakan dalam keseben biasanya hanya dimengerti oleh orang-orang tertentu saja, sedangkan masyarakat biasa hanya bisa mendengar. Menurut F.X Beleng (53) yang merupakan Ketua Ketumanggongan (Ketua Adat) Dayak Simpang di Pontianak menjelaskan kaseben umumnya dinyanyikan atau dilagukan oleh orang-orang tua yang menghandiri suatu upacara tertentu. Selanjutnya menurut beliau tidak sembarangan orang-orang tua yang mengetahui untuk menyanyikan kaseben ini, tetapi hanya orang-orang tertentu saja. Saat ditanya apakah anda bisa menyanyikan kaseben, beliau hanya tertawa dan senyum-senyum saja.
“Saya bukannya tidak bisa, tetapi waktunya yang kurang tepat ungkapnya”. Mengenai waktu menyanyikan kaseben ini F.X Beleng yang merupakan dosen STKIP PGRI Pontianak mengungkapkan bahwa kaseben hanya bisa dinyanyikan pada saat-saat tertentu saja, ini karena berhubungan dengan makhluk halus atau roh arwah nenek moyang yang hadir pada saat tertentu tersebut. Ini sebenarnya merupakan nyanyian untuk makhluk halus dalam upacara adat tertentu, tetapi setelah mengalami perkembangan jaman kaseben dinyanyikan juga untuk menghibur manusia. Tetapi tetap harus dalam acara-acara tertentu saja. Livinus Prianidi membenarkan semua informasi tersebut. Beliau merupakan Ketua Masyarakat Simpang di Kota Pontianak. Menurut beliau kaseben ini bisa juga dilantunkan dengan musik-musik seperti gong gamal, ketawak, maupun sape.
Kaseben merupakan sebuah nyanyian yang dilagukan pada saat acara-acara tertentu yang diselenggarakan oleh masyarakat Suku Dayak yang mendiami daerah Simpang Dua Kabupaten Ketapang. Menurut FX. Beleng (52), kaseben ini nyanyian yang unik karena menggunakan bahasa dayak yang khas yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Lebih lanjut menurut beliau kaseben ini merupakan suatu budaya lisan khas dayak di Simpang Dua. Sama juga halnya dengan Martinus D. Ipoh (48) mengatakan kaseben sebenarnya merupakan nyanyian suci yang dilagukan oleh tua-tua adat pada saat acara atau upacara-upacara tertentu yang terdapat di Kecamatan Simpang Dua. Bahkan menurut beliau, sebenarnya pada masyarakat dayak lainnya juga terdapat kaseben, namun hanya penamaan saja yang berbeda disesuaikan dengan bahasa dayak yang bersangkutan. Sedangkan menurut Thomas Alexander (42) beliau berkata “berdasarkan pengetahuan saya selama hidup kurang lebih 15 tahun di kampung, jaman dulu orang-orang tua sering menyanyikan kaseben pada saat acara pernikahan dan acara-acara lainnya dimana orang tua yang satu menyindir orang tua yang lainnya dengan menggunakan kaseben ini”. Lanjut beliau yang merupakan anggota DPR Kalbar ini, “ selanjutnya orang tua yang lain akan membalas sindirian orang tua tadi dengan kaseben juga, intinya kaseben merupakan nyanyian yang digunakan untuk menyindir, mengolok dan membuat suasana menjadi riang gembira dengan menggunakan bahasa dayak yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Siapa yang tidak bisa membalas sahutan kaseben maka dianggap kalah”, ujar politisi dari Partai PDI Perjuangan ini.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa kaseben merupakan suatu budaya berupa nyanyian lisan suku dayak di daerah Simpang Dua dan sekitarnya yang dinyanyikan atau dilagukan pada saat acara-acara tertentu dengan menggunakan bahasa yang dalam yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Kaseben digunakan untuk membuat acara menjadi lebih meriah, menyindir lawan bicara, membuat lelucon dengan kata-kata yang berbeda tadi. Kaseben juga disebut sebagai nyanyian suci karena berhubungan dengan makhluk gaib.
Kaseben nyanyian boretn
Lebih lanjutnya Bapak Livinus Prianidi yang merupakan guru di sebuah sekolah swasta di Pontianak mengungkapkan, kaseben ini bisa dikatakan nyanyian yang sangat menarik dan enak untuk didengar, terkadang kita akan tertawa sendiri mendengar orang-orang yang menyanyikan kaseben. Baik F. X Beleng maupun Livinus Prianidi menolak untuk menyanyikan kaseben. Yang jelas menurut mereka bahasa dalam nyanyian kaseben merupakan bahasa yang sulit untuk dimengerti oleh orang lain. Bahasa yang terdapat dalam kaseben merupakan bahasa Dayak Dalam, mengapa demikian? Bahasa Dayak Dalam merupakan sebuah sarana komunikasi antara manusia dengan makhluk gaib sehingga bahasa ini hanya dimengerti oleh manusia tertentu saja.
Kaseben merupakan tradisi lisan masyarakat Dayak Simpang yang dinyanyikan atau dilagukan oleh beberapa orang tua yang dianggap memeilki spritual lebih mengenai hal-hal gaib. Mereka kemudian dianggap memeiliki kekuatan supranatural yang tentu saja berbeda dengan masyarakat biasa pada umumnya. Dalam menyanyikan kaseben sebenarnya tidaklah terlalu rumit , tidak membutuhkan syarat-syarat khusus. Menurut FX Beleng “kaseben ini kan hanya nyanyian, lagu dan pengantar dalam acara tertentu saja, bahkan sifatnya menjadi pelengkap dalam suatu acara tertentu agar acara atau kegiatan tersebut menjadi lebih meriah, lebih menyenangkan”.
Martinus Damamang membenarkan hal tersebut, menurut beliau kaseben bukanlah sesuatu yang magis, sesuatu yang haram, tetapi bukan juga sesuatu yang asal-asalan. Masih dari pandangan Martinus Damamang yang juga merupakan aktivis AMAN wilayah Ketapang ini, kaseben di jaman era modern ini menjadi bukan lagi hal yang sakral bagi masyarakat dayak, namun menurut beliau kaseben juga bukan hal yang menjadi nyanyian yang asal-asalan saja. Lanjut beliau “kaseben di era modern ini sudah seperti nyanyian biasa yang hanya di dengar dalam kegiatan atau acara tertentu dalam masyarakat Dayak Simpang, tetapi bukan artinya lalu mau sembarangan saja dalam mengucapkan kalimat-kalimat dalam kaseben”. Masih menurut bapak-bapak dengan kulit putih ini “setiap sesuatu dalam masyarakat dayak pasti ada makna lain, begitu juga dengan kaseben, meskipun menyanyikan tanpa syarat-syarat, namun tetap ada waktu atau momen yang tepat dalam menyanyikannya”. Berdasarkan pengetahuan beliau, kaseben ini palinng tidak bisa dinaynyikan atau dilagukan apabila ada acara atau ritual tertentu yang diikuti dengan pemanggilan arwah nenek moyang atau makhluk gaib yang kemudian untuk menghibur, membuat senang arwah-arwah tersebutlah maka beberapa orang tua menyanyikan kaseben. Dan tentu saja waktu dalam menyanyikan kaseben ini juga ada saat-saat atau momen-momen yang tepat dalam acara tersebut.
Menyanyikan kaseben merupakan suatu bentuk seberapa besar pengetahuan seseorang yang diaanggap tua dilingkungan tersebut. Menyanyikan kaseben sebenarnya merupakan suatu bentuk seberapa pintarnya seseorang dalam mengolah kata-kata biasa menjadi larik dalam nyanyian kaseben. Dalam menyanyikan kaseben tidak ada bahkan tidak memerlukan syarat-syarat khusus, hanya dalam menyanyikan ini memang harus sesuai dengan waktu dan keadaan yang tepat karena nyanyian ini masih berhubungan dengan roh nenek moyang atau jenis makhluk gaib lainnya. Dari pengetahuan Thomas Alexander, jika seseorang berani untuk menyanyikan kaseben berarti dia juga berani untuk menyatu dengan alam roh nenek moyang. “itu dulu,” pungkasnya. Lanjut lulusan Fisipol Universitas Tanjungpura ini, “sepengetahuan saya pada jaman dulu bila seseorang menyanyikan kaseben untuk mengiringi dukun dalam baliatn berarti dia siap-siap saja kehilangan raganya. Karena apa? Dalam baliatn inikan yang dipanggil roh arwah nenek moyang sedangkan menyanyikan kaseben ini berfungsi untuk menghibur mereka jadi sudah pasti orang yang menyanyikan kaseben tersebut akan pindah ke alam yang lain”. Lebih lanjut kata beliau, “pada era modern ini saya lihat jauh dari jaman dulu, sekarang ini menyanyikan kaseben bukan lagi hal yang memerlukan pengorbanan, paling-paling siap merasa malu saja karena pasti ada yang kalah dalam mengolah kata-kata tersebut”. Masih dari pandangan Thomas Alexander bahwa sekarang menyanyikan kaseben tidak seketat dulu, sekarang jika ada kegiatan seperti gawai, ngulu, pernikahan seseorang, naik dango, dan lain-lain maka kaseben sah-sah saja untuk dinyanyikan atau dilagukan, yang penting orang yang mendengarkan akan terhibur.
Kaseben sebuah budaya lokal masyarakat Simpang Dua memang beralih fungsi dari awalnya untuk menghibur makhluk-makhluk gaib atau roh-roh arwah nenek moyang sekarang dijadikan hiburan dalam masyarakat pada waktu acara-acara tertentu. Kata-kata dan bentuk nyanyian memang tidak terdapat perubahan yang mencolok, kata-kata dalam lirik kaseben tetap menggunakan bahasa Dayak Dalam, artinya bahasa yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Bahkan seiring dengan perkembangan waktu, kata-kata dalam lirik kaseben bisa saja dikembangkan oleh Si Penyanyi sesuai dengan kebutuhan (Djuweng, 2004: 9). Tidak berbeda dari pandangan Livinus Prianidi, bahwa menyanyikan kaseben tidak seerat jaman dulu. Menurut beliu, “kuncinya dalam menyanyikan kaseben ini yaitu adanya rangkaian kegiatan yang secara adat dianggap sah dan formal. Adapun beberapa acara atau kegiatan tersebut diantaranya naik dango, pernikahan adat, ngulu (beramai-ramai ke ladang) dan saya kira masih banyak lagi yang lainnya”. Lanjut guru pada sekolah swasta di Pontianak ini, “menyanyikan kaseben tadi memang hanya pada waktu-waktu tertentu saja, misal pada saat orang menikah, mengapa dimaksudkan demikian? Jadi begini, pada saat orang menikah khususnya nikah adat dalam masyarakat Dayak Simpang pasti ada musik daerah yang namanya Gong Gamal, nah pada saat mengalunkan Gong Gamal inilah terdapat beberapa orang tua yang secara bergiliran menyanyikan kaseben, biasanya berlawan dan siapa yang kalah akan meminum secawan arak yang sudah disiapkan di depan mereka masing-masing”.
Mulanya, kaseben merupakan suatu bentuk bahasa untuk berkomunikasi antara seseorang dukun (tabib) dengan makhluk halus. Dengan adanya komunikasi ini maka seseorang dukun tadi akan mengetahui penyakit, kesalahan yang mengakibatkan sakit, maupun untuk mengetahui syarat-syarat agar sakit sembuh. Dalam hal ini kaseben berguna sebagai bahasa komunikasi antara dukun dengan makhluk gaib yang dimiliki atau pun yang mengakibatkan seseorang sakit, kaseben merupakan wadah mediasi antara dukun dengan makhluk yang menyebabkan seseorang sakit. Dari pandangan FX. Beleng pada masa dulu, setiap dukun wajib tahu bahasa kaseben selain juga mengetahui mantra-mantra. Lanjut beliau yang merupakan dosen STKIP PGRI Pontianak ini asalnya kaseben dinyaynikan atau dilagukan oleh seseorang dukun, seseorang kepala adat, seseorang domong, untuk berkomunikasi dengan makhluk gaib tertentu. Livinus Prianidi juga memberikan informasi yang kurang lebih sama, beliau menambahkan mulanya kaseben erat kaitannya dengan komunikasi dengan alam, komunikasi dengan duata, ada juga yang menynyikan kaseben sebagai sarana komunikasi dengan makhluk gaib. Masih dari pandangan Livinus Prianidi, seiring dengan perkembangan jaman, kaseben tidak hanya menjadi wadah komunikasi antara manusia dengan makhluk gaib, namun lebih akrab dengan komunikasi antara manusia dengan manusia. Sedangkan komunikasi antara manusia dengan makhluk gaib lebih diutamakan dengan menggunakan mantra.
Martinus Damamang mengiyakan semua data dan informasi tersebut, tetapi beliau masih menambahkan beberapa informasi lagi. Dari kaca mata Martinus Damamang, menurut beliau “kata kakek saya dulu, kaseben ini sebenarnya merupakan nyanyian untuk membuat hantu (makhluk gaib) senang dan tidak menganggu manusia”. Lebih lanjut menurut beliau yang merupakan Ketua Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Simpang ini berujar, “setiap sore, di dukuh kami dulu kakek saya selalu menyanykan kaseben dengan harapan hantu (makhluk gaib) tidak menganggu kami sekeluarga pada saat akan beristirahat di malam harinya. Kaseben yang dinyanyikan oleh kakek waktu itu saya masih ingat yaitu berupa kata-kata bias, bahasa dalam, bahasa yang tentu saja berbeda dengan bahasa sehari-hari. Menurut kakek saya dulu, makna dari kata-kata itu adalah berbagai kata-kata pujian dan tanda memohon kepada hantu (makhluk gaib) sehingga hantu-hantu tersebut senang dan akhirnya tidak menggangu kami pada saat tidur di malam harinya”.
Lain lagi namun ada kesamaan menurut Thomas Alexander, kaseben asal mulanya memang untuk hantu, berkomunikasi dengan alam, makhluk gaib, duata, namun penekanan dari beliau bahwa kaseben ini mulanya berupa nyanyian yang asalnya manusia dapatkan dari kicauan seekor burung yang dalam bahasa kampungnya burung Ciokng. Lanjutnya, burung ini merupakan seekor burung terutama yang jantan sering menyanyikan suara yang merdu-merdu untuk menarik perhatian burung betina pada saat musim kawin. Menurut beliau dari nyanyian inilah manusia mulai meniru sehingga terciptalah kaseben ini. Setelah melalui perkembangan jaman, nyanyian ini pun semakin populer di kalangan masyarakat dayak pada masa itu (jaman dulu), masih menurut Thomas Alexander, setiap sub-suku dayak sebenarnya ada yang berjenis kaseben ini (Bahasa Dayak Simpang –red) namun setiap sub-suku tersebut tentu saja berbeda dalam hal penyebutan kata-kata, dan penamaan.

Rayah boretn Dayak Simpakng
Dari sekian banyak infomasi dan data yang ada, dapat dikatakan bahwa sebuah kaseben awal mulanya merupakan nyanyian yang diciptakan dengan meniru suara nyanyian dari seekor burung, stelah mengalamai perkembangan waktu, kaseben menjadi sarana komunikasi antara manusia dengan makhluk gaib, bahkan juga sarana komunikasi antara manusia dengan duata (Tuhan-red). Kaseben merupakan sebuah sarana mediasi antara manusia dengan makhluk gaib khususnya agar tidak mengganggu kehiudpan manusia. Dapat dikatakan pula dengan adanya kaseben ini diharapkan tetap terjadi suatu hubungan yang harmonis antara manusia dengan makhluk lainnya. Jika manusia mengganggu maka akan terjadi lah yang namanya sampar dan masih banyak lagi hukuman yang diberikan oleh makhluk gaib itu, entah berupa sakit, dan bencana. Dengan adanya kaseben inilah melalui perantara seorang domong (kepala adat) diharapkan jika manusia telah menggangu makhluk gaib maka manusia wajib untuk meminta maaf dengan menyanyikan lagu kaseben disamping juga mengucapkan mantra dan memberikan sesajian lainnya.
Bahasa kaseben merupakan bahasa yang tidak sembarangan diucapkan. Kaseben ini sebenarnya pada jaman dulu merupakan sebuah nyanyian yang digunakan untuk menghibur para makhluk gaib yang dipanggil oleh dukun dalam upacara-upacara tertentu. Upacara yang dimaksud bisa saja berupa Naik Dango, Pernikahan, Baliatn dan masih banyak lagi yang lainnya. Kaseben sebenarnya merupakan alat komunikasi antara manusia dengan makhluk gaib. Menurut F.X Beleng semakin majunya dan semakin modernnya kehidupan manusia, lantas kaseben pun beralih fungsi menjadi sarana komunikasi antara manusia satu dengan manusia lainnya dengan maksud untuk mengukur kepintaran seseorang. Sehingga di era modern ini, kaseben menjadi tolak ukur kepintaran dan kecakapan orang-orang tua dalam mengucapkan dan menyanyikan kaseben. Kaseben menjadi dinyanyikan secara balas-membalas, dalam artian kurang lebih seperti berbalas pantun. Tetapi tetap menggunakan bahasa Dayak Dalam dan harus dalam acara-acara tertentu.
Setelah memasuki era modern, kebudayaan dayak yang unik ini pun mulai ditinggalkan oleh kaum mudanya. Masyarakat Dayak Simpang, khususnya kaum muda lebih menyenangi musik-musik modern. Meskipun pada kenyataanya musik modern itu tidak terlalu menarik bagi sebagian masyarakat, tetapi mereka tetap memilih dan menyukai musik modern dari pada nyanyian daerah seperti misalnya kaseben ini.

“Kaum muda seolah-olah tidak memahami bahwa budaya lokal itu penting untuk dipertahankan”, tutur FX Beleng dengan raut muka yang berbeda. Lanjut beliau “yang muda seakan-akan malu untuk mempertahankan kearifan lokal dari budaya mereka sendiri, seperti kaseben ini. Entah sampai kapan nyanyian ini akan bertahan”. Memang dari beberapa fakta di kampung, khususnya Simpang Dua, kaseben ini seolah-olah hanya menjadi nyanyian bagi orang-orang tua. Kaseben seperti kehilangan penggemarnya. Para kaum muda lebih menyukai lagu-lagu populer dari band-band seperti ST 12, Radja, dan masih banyak band-band lainnya.
Ini dibenarkan juga oleh Livinus Prianidi yang merupakan ketua masyarakat Simpang di Pontianak. Menurut beliau orang-orang dayak terutama kaum mudanya sudah mulai kehilangan jati diri untuk mencintai budaya sendiri. “saya ambil masyarakat simpang contohnya, kaum muda lebih cenderung untuk mendengarkan musik-musik modern, bahkan beberapa dari mereka lebih menyukai lagu-lagu dengan bahasa asing seperti bahasa Inggris dan bahasa India”. Setelah begitu banyaknya lagu-lagu asing yang masuk ke dalam masyarakat Dayak Simpang, kaum muda seloah-olah terbius oleh lagu-lagu tersebut dan perlahan tetapi pasti mulai merlupakan nyanyian lokal seperti kaseben ini. Kaum muda lebih suka untuk mendengar lagu-lagu seperti “setia dari zivilia, lagu-lagu grup band Ungu, dan lagu-lagu lainnya”. Bahkan banyakdari kaum muda Dayak Simpang yang lebih senang dengan lagu-lagu barat, seperi lagu-lagu dari MLTR, lagu-lagu Westlife, lagu-lagu GNR. Menurut Martinus Damamang, “kaum muda Dayak Simpang seperti malu untuk mendengar kaseben dan lagu lokal lainnya. Mereka tidak mau dibilang kolot, ketinggalan jaman oleh teman-temannya”, terang bapak yang merupakan kaum intelek masyarakat Dayak Simpang ini. Meskipun dari beberapa informasi bahwa kaseben mulai ditinggalkan kaum muda, namun dari pandangan beberapa kaum intelek masyrakata Dayak Simpang bahwa tidak boleh hanya menyalahkan satu pihak saja. Artinya banyak faktor yang menyebabkan kaseben ini tidak disenangi oleh kaum muda.
Menurut Thomas Alexander bukan hanya kaum muda yang perlu untuk dipersalahkan, tetapi mari kita lihat hakikat dan dasar dari kaseben itu sendiri. Ujar beliau “kaseben ini kan aslinya bahasa komunikasi dengan makhluk gaib, bahasa yang digunakan juga merupakan bahasa dayak dalam, jadi yang mengerti tentu saja orang-orang tua sedangkan kaum mudanya tidak, jadi menurrut saya itulah yang menjadi tidak menariknya kaseben ini karena hanya kaum tua yang bisa mengerti sedangkan kaum muda tidak”. Lanjut politisi dari PDI Perjuangan ini, “memang dasarnya kaseben ini untuk orang tua saja kok, yang memiliki pengetahuan tentang makhkluk gaibkan hanya mereka-mereka ini sedangkan yang muda tidak, kaum muda akan mempelajari pengetahuan mendalam dalam artian belajar tentu pada saat dia sudah tua juga, sehinga ia juga akan mengetahui bahasa pada nyanyian kaseben pada saat ia sudah tua karena seiring dengan belajar pengetahuan yang berhubunagn dengan makhluk gaib tadi”.
Martinus Damamang, satu di antara tokoh masyarakat Dayak Simpakng
Sebanding dengan kebudayaan daerah lainnya, kaseben juga diambang kepunahan. Martinus Damamakng (45) mengungkapkan “sangat disayangkan generasi muda dayak tidak begitu tertarik dengan kaseben, karena dianggap nyanyian kuno dan ketinggalan jaman”. Lanjut beliau lambat laun kaseben ini jika tidak dilestarikan akan turut punah seiring dengan meninggalnya orang-orang tua yang tahu menyanyikan kaseben. Dari segi yang tahu akan kaseben, memang sangat logis jika kaseben akan punah. Dikatakan demikian karena para kaum muda dayak, khususnya Dayak Simpang tidak begitu tertarik mempelajari kaseben. Akibatnya, sangat minim masyarakat Dayak Simpang yang tahu untuk menyanyikan kaseben ini. Martinus Damamang membenarkan bahwa di lapangan sangat minim masyarakat yang tahu menyanyikan kaseben. Dari pandangan beliau yang merupakan Pengurus Yayasan Pancur Kasih Pontianak kepunahan suatu budaya umumnya dikarenakan semakin lunturnya rasa mencintai dan menyayangi budaya tersebut. Masih menurut beliau, kaum muda dayak harus mencintai budaya yang ada sehingga tertarik untuk mempelajari budaya itu. Beliau mengambil contoh, kaseben, bisa untuk diantisipasi kepunahannya dengan mempelajari kaseben dan mencintai kaseben, sehingga timbul keinginan untuk melestarikan kaseben.

Rabu, 24 Agustus 2011

Si Keledai yang Cerdik

Keledai dan Garam Muatannya




 Seorang pedagang, menuntun keledainya untuk melewati sebuah sungai yang dangkal. Selama ini mereka telah melalui sungai tersebut tanpa pernah mengalami satu pun kecelakaan, tetapi kali ini, keledainya tergelincir dan jatuh ketika mereka berada tepat di tengah-tengah sungai tersebut. Ketika pedagang tersebut akhirnya berhasil membawa keledainya beserta muatannya ke pinggir sungai dengan selamat, kebanyakan dari garam yang dimuat oleh keledai telah meleleh dan larut ke dalam air sungai. Gembira karena merasakan muatannya telah berkurang sehingga beban yang dibawa menjadi lebih ringan, sang Keledai merasa sangat gembira ketika mereka melanjutkan perjalanan mereka.
    Pada hari berikutnya, sang Pedagang kembali membawa muatan garam. Sang Keledai yang mengingat pengalamannya kemarin saat tergelincir di tengah sungai itu, dengan sengaja membiarkan dirinya tergelincir jatuh ke dalam air, dan akhirnya dia bisa mengurangi bebannya kembali dengan cara itu.
Pedagang yang merasa marah, kemudian membawa keledainya tersebut kembali ke pasar, dimana keledai tersebut di muati dengan keranjang-keranjang yang sangat besar dan berisikan spons. Ketika mereka kembali tiba di tengah sungai, sang keledai kembali dengan sengaja menjatuhkan diri, tetapi pada saat pedagang tersebut membawanya ke pinggir sungai, sang keledai menjadi sangat tidak nyaman karena harus dengan terpaksa menyeret dirinya pulang kerumah dengan beban yang sepuluh kali lipat lebih berat dari sebelumnya akibat spons yang dimuatnya menyerap air sungai.

Sabtu, 23 Juli 2011

SETANGKAI PUISI

SETANGKAI

Karya:Aster


Pagi hari ku buka mata
Ku rasakan indahnya
Hembusan angin menusuk kulitku
Setetes demi setetes
Percikan embun membasahi mawarku


Aku tersenyum bahagia
Mawar merahku begitu segar
Harum semerbak baunya
Meski mawarku berdiri dengan tangkai yang rapuh
Namun Ia tetap menjadi mawar merah
Yang akan memberi keindahan
Pada setiap pasang bola mata yang memandang

Kini...
Mawarku semakin indah
Ia telah menemukan tangkainya
Tangkai yang akan menambah keindahannya
Tangkai yang akan menjaganya
Tangkai yang akan melindunginya dari tiupan angin


Mawarku terlihat semakin indah
Meski Ia harus tetap menjaga tangkainya
Ia juga harus tetap selalu menjaga mahkotanya
Jangan sampai Mahkota yang begitu indah
Gugur tanpa arti
Merusak keindahan mawar merahku
Atau,,,,
Jangan sampai aku bangun pagi besok
Mawarku yang begitu indah
Hilang dipetik orang
Aku harus tetap menjaga
Agar mawar merah dan tangkainya selalu bersatu
Untuk selamanya

Senin, 02 Mei 2011

RAYAH

Rayah (Tradisi Lisan Dayak Simpakng)
Oleh: Bastian
Informan: Nyalek (72 tahun)
Rayah merupakan tradisi lisan berupa nyanyian suci yang pada umumnya ditampilkan pada waktu upacara adat tertentu.

Rayah dibagi menjadi beberapa bagian sebagai berikut.

1. Rayah Boretn

Boretn yang sering disebutkan dengan istilah baboretn merupakan suatu ritual berupa upacara dalam pengobatan yang d...ilakukan oleh seorang boretn (dukun/tabib). Dalam baboretn ini seorang boretn dibantu oleh seorang atau beberapa orang pabayu (asisten). Pabayu inilah yang kemudian menyanyikan Rayah Boretn. Kegiatan menyayikan rayah ini disebut berayah.

Berayah dalam baboretn memiliki tujuan untuk memanggil malaikat yang membantu seorang boretn dalam pengobatan yang disebut benyawai. Ketika rayah boretn dinyanyikan maka benyawai akan masuk ke dalam raga boretn dan kemudian membantu mengobati penyakit.

2. Rayah Damamakng Bulatn

Damamakng Bulatn merupakan tradisi lisan berupa lagu yang dinyanyikan sehubungan dengan upacara pernikahan. Rayah ini ditampilkan sebelum acara ngalu. Panjang Rayah Damamakng Bulan bervariasi, sebagian besar berdurasi 10 menit. Rayah ini akan ditampilkan jika sebuah pernikahan menikah tidak berhalangan menurut pureh (garis kekeluargaan).

3. Rayah Domokng Dabokng

Setelah Rayah Damamakng Bulatn dinyanyikan, maka kemudian akan diikuti oleh Rayah Domokng Dabokng dengan tujuan untuk membuka tuak yang diisi di dalam mangkok dan ditutup dengan tikar dan dilapisi dengan kain putih.

4. Rayah Damamakng Labatn

Rayah Damamakng Labatn adalah tradisi lisan berupa lagu yang dinyanyikan sehubungan dengan upacara perkawinan, manakala kedua pasanagan itu tidak boleh menikah menurut norma adat yang berlaku. Biasanya masih terjalin hubungan kekeluargaan (pureh). Rayah ini panjangnya ketika dinyanyikan sekitar 25 menit. Rayah ini dinyanyikan bersamaan dengan upacara pemotongan anjing di sungai dan pasangan yang menikah mandi di mana darah tersebut mengalir. Ini merupakan hukuman karena telah melanggar pureh tadi.

RAYAH

Rayah (Tradisi Lisan Dayak Simpakng)
Oleh: Bastian
Informan: Nyalek (72 tahun)
Rayah merupakan tradisi lisan berupa nyanyian suci yang pada umumnya ditampilkan pada waktu upacara adat tertentu.

Rayah dibagi menjadi beberapa bagian sebagai berikut.

1. Rayah Boretn

Boretn yang sering disebutkan dengan istilah baboretn merupakan suatu ritual berupa upacara dalam pengobatan yang d...ilakukan oleh seorang boretn (dukun/tabib). Dalam baboretn ini seorang boretn dibantu oleh seorang atau beberapa orang pabayu (asisten). Pabayu inilah yang kemudian menyanyikan Rayah Boretn. Kegiatan menyayikan rayah ini disebut berayah.

Berayah dalam baboretn memiliki tujuan untuk memanggil malaikat yang membantu seorang boretn dalam pengobatan yang disebut benyawai. Ketika rayah boretn dinyanyikan maka benyawai akan masuk ke dalam raga boretn dan kemudian membantu mengobati penyakit.

2. Rayah Damamakng Bulatn

Damamakng Bulatn merupakan tradisi lisan berupa lagu yang dinyanyikan sehubungan dengan upacara pernikahan. Rayah ini ditampilkan sebelum acara ngalu. Panjang Rayah Damamakng Bulan bervariasi, sebagian besar berdurasi 10 menit. Rayah ini akan ditampilkan jika sebuah pernikahan menikah tidak berhalangan menurut pureh (garis kekeluargaan).

3. Rayah Domokng Dabokng

Setelah Rayah Damamakng Bulatn dinyanyikan, maka kemudian akan diikuti oleh Rayah Domokng Dabokng dengan tujuan untuk membuka tuak yang diisi di dalam mangkok dan ditutup dengan tikar dan dilapisi dengan kain putih.

4. Rayah Damamakng Labatn

Rayah Damamakng Labatn adalah tradisi lisan berupa lagu yang dinyanyikan sehubungan dengan upacara perkawinan, manakala kedua pasanagan itu tidak boleh menikah menurut norma adat yang berlaku. Biasanya masih terjalin hubungan kekeluargaan (pureh). Rayah ini panjangnya ketika dinyanyikan sekitar 25 menit. Rayah ini dinyanyikan bersamaan dengan upacara pemotongan anjing di sungai dan pasangan yang menikah mandi di mana darah tersebut mengalir. Ini merupakan hukuman karena telah melanggar pureh tadi.

Minggu, 01 Mei 2011

Kisah Perjalanan Menuju Riam Merasap

Indahnya Riam Berasap


     
Anak sungai Riam Merasap
Malam itu, sekitar Pukul 22.00 WIB saya dengan beberapa teman menembus gelapnya malam untuk mengunjungi sebuah objek wisata yang terdapat di Kabupaten Bengkayang yaitu Riam Berasap. Perjalanan pertama-tama ditempuh menuju Kota Bengkayang. Dengan mengendarai mobil Xenia hitam, maka berangkatlah saya dengan beberapa orang menuju Bengkayang. Waktu menunjukkan Pukul 22.00 WIB, kami pun berangkat. Dalam perjalanan di malam itu, di luar cuaca dalam keadaan hujan deras dengan petir menyambar. Suasan sangat mencekam. Ini adalah sesuatu yang sangat menegangkan dan menurut saya merupakan hal yang sangat seru, sulit untuk dilupakan. Singkat cerita, setelah menempuh perjalanan sekitar lima jam, kami sampai di Bengkayang dan malam itu saya menginap di tempat teman.
     Besok harinya baru melanjutkan perjalanan menuju Riam Berasap. Di tengah perjalanan menuju riam tersebut, kami menyempatkan diri untuk singgah di tempat teman satu angkatan yang tewas saat bertabrakan dengan mobil beberapa waktu sebelumnya. Suasana-sungguh mengharukan. Ini pengalaman yang sulit dilupakan. Saya hanya terdiam ketika melihat anggota keluarga yang ditinggalkan, mereka sangat sedih. Untuk teman kami yang telah tiada tersebut, Ulfa Dewi (Alm) , semoga Tuhan besertamu.
    Begitulah seterusnya, saya beserta beberapa teman tersebut melanjutkan perjalanan menuju Riam Berasap. Perjalanan dari Bengkayang menuju tempat tersebut kira-kira menempuh waktu sekitar satu setengah jam. Pukul 08.00 WIB barulah saya sampai ke tempat tujuan. Ternyata di sana sudah penuh dengan orang-orang yang duluan dari kami. Mereka masih mengadakan misa di dekat riam tersebut. Yang sangat membuat hati saya kesal adalah kami harus menunggu hingga misa selesai baru bisa menikmati indahnya Riam Berasap. Dan itu bukan sebentar, memerlukan waktu 1-2 jam. Nasib-nasib pikir saya di dalam hati.
 
Pemandangan alam Riam Berasap
   Setelah menunggu sekitar dua jam, akhirnya saya dan rombongan pun masuk ke areal tempat masyarakat beribadat. Saya pun tidak menghiraukan itu, karena dalam pikiran saya adalah Riam Berasap. Sampai di sana, pertama-tama saya melihat sebuah bendungan yang lumayan luas. Kemudian tampak orang-orang mandi dan berenang di sekitar bendungan tersebut. Kali ini kembali saya harus kecewa, karena hujan pun turun dengan derasnya mengguyur tempat tersebut. Dan saya pun belum sempat melihat riam tersebut. Sungguh sangat menyedihkan. Kami pun kembali ke mobil.
   Setelah hujan reda, kami berkeinginan untuk pulang dan kembali ke Bengkayang kota. Mobil sudah siap dikeluarkan oleh sopir. Tiba-tiba mobil-mobil lainnya yang ada di depan kami tidak bergerak. Kebetulan waktu itu mobil kami lumayan parkir di ujung maka menuggu mobil di depan keluar dulu baru mobil tersebut bisa keluar. Hampir setengah jam, mobil di depan tidak juga berangkat. Rupanya ada sebuah mobil yaitu bus yang membawa rombongan melintang di jalan di depan dan tidak bisa melanjutkan perjalanan. Bus tersebut juga menghalangi jalan, karena tepat ditengah ruas jalanlah bus tersebut melintang. Maka kesempatan ini langsung saya manfaatkan dengan sebaik mungkin. Saya berlari menuju riam, masuk bayar Rp 5000,00. Saya pun langsung menuju sasaran. Sampai di sana, saya melihat banyak sekali orang-orang yang sudah tiba duluan ingin melihat riam tersebut. Saya tidak mau kalah saing.
   
Daerah Aliran Sungai Riam Merasap
Wah ... itu kata pertama yang saya ucapkan ketika melihat riam tersebut. Benar-benar menakjubkan. Riam dengan lebar kira-kira mencapai 35 meter, dengan ketinggian kira-kira lima kali panjangnya pohon kelapa dewasa, atau mencapai 45 meter. Arusnya sangat deras, banyak sekali orang-orang yang mandi di bawah arus tersebut. Saya melihat ke bawah, tidak terlalu tampak orang yang ada di bawah, karena diselimuti asap tebal. Padahal mungkin bukan asap tapi percikan air yang kecil-kecil dan tampak seperti asap. Oleh karena itu riam tersebut di sebut Riam Berasap. Saya terkagum-kagum dengan pemadangan tersebut, begitu indahnya suasan hutan dengan derasnya air terjun. Sungguh-sungguh luar biasa.
Puas melihat-lihat tempat tersebut, saya pun kembali ke mobil. Ternyata mobil sudah mau berangkat. Saya dan rombongan pun pulang menuju Bengkayang untuk selanjutnya kembali ke Pontianak. Pulangnya, kami menyempatkan diri untuk menjenguk kuburan teman kami yang telah meninggal tersebut. Saya dan beberapa teman lainnya berdoa, agar almarhum beristirahat dengan tenang.
   Begitulah selanjutnya, kami singgah di tempat teman di Bengkayang, istirahat sebentar lalu melanjutkan perjalanan menuju Pontianak. Sekitar pukul 23.00 WIB mobil sampai ke Pontianak, dan sekitar tiga puluh menit kemudian saya sampai di rumah. Demikianlah pengalaman saya menuju Riam Berasap di Kabupaten Bengkayang. Ini merupakan pengalaman yang takkan terlupakan dan selalu saya kenang.

Selasa, 19 April 2011

FEATURES (Berita)

Belajar Cermat, Teliti, Sabar dan Fokus dari Tukang Servis Motor
Oleh : Bastian Arisandi

Minggu pagi sekitar pukul 09.00 WIB saya pergi ke bengkel motor dengan tujuan untuk memperbaiki motor yang rusak. Sampai di bengkel tersebut, keadaan dam suasana sangat ribut karena suara motor-motor yang sedang diperbaiki. Ternyata, meskipun dalam suasan yang sangat ribut, tukang bengkel tetap yang lain tetap fokus pada motor yang dibengkelinya. Lalu kemudian saya berbasa-basi sebentar dengan pemilik bengkel tersebut. Saya sekedar berbincang-bincang. Setelah sekian lama berbincang-bincang, saya tak sedikit pun melihat anak buah dari bengkel tersebut yang tidak bekerja. Semua mengerjakan tugasnya dalam memperbaiki motor yang rusak.
Sebut saja pemilik bengkel tersebut Achuan. Memang beliau adalah etnis Cina. Percakapan pun terjadi antara saya dengan beliau.
“Cek, anak buah acek ada berapa?”
“Saya punya anak buah ada tiga, yang satu lagi istrahat katanya sholat”
“Ohh .. begitu”.
Percakapan kami memang sangat singkat. Karena apa? Ternyata beliau sendiri juga langsung mempebaiki motor yang rusak lainnya.
Nama bengkel tersebut adalah Matahari Motor, dengan alamat Jalan Budi Utomo, Siantan. Tepat pada jejeran Ruko di tepi jalan. Saya sempat bertanya mengenai mengapa dinamakan Matahari Motor. Beliau menjawab bahwa matahari yaitu memancarkan sinar yang terang. Begitu juga dengan bengkel motor kami yang siap menyinari motor-motor yang rusak pukas beliau dengan diikuti gelak tawa orang-orang yang ada di bengkel tersebut.
Singkat cerita, saya pun mengamati pekerjaan yang dilakukan oleh beberapa tukang perbaiki motor. Saya sangat terkesan dengan cara mereka dalam memperbaiki motor-motor tersebut.
Pertama saya terkesan dengan betapa cermatnya mereka dalam memasang kembali alat-alat motor yang menurut saya sangat rumit. Mereka membongkar kemudian memasang sesuai dengan tempat asal alat-alat tersebut. Alat-alat dalam motor ternyata amat sangat rumit. Bahkan ada yang sangat sulit untuk dimengerti, mengapa alat tersebut bisa berada di tempat tersebut. Tetapi acungan jempol patut diberikan kepada tukang perbaiki motor, mereka mampu untuk menyusun kembali alat-alat yang sudah berhamburang dan berserakan dilantai menjadi mesin motor yang utuh kembali.
Hal yang kedua yang juga sangat menarik bagi saya yaitu para tukang perbaiki motor tersebut sangat teliti dalam memperbaiki alat-alat mesin motor yang rusak. Mereka mampu untuk mencari hal-hal yang rusak pada motor tersebut. Mereka mampu untuk memperbaiki gejala-gejala kerusakan pada motor tersebut.
Kesan yang ketiga yaitu betapa sabarnya para tukang tersebut dalam memperbaiki motor-motor yang rusak. Mulai dari melepaskan sekrup satu per satu, menanggalkan penutup luarnya, menanggalkan besi-besi yang besar-besar, meneliti kerusakan-kerusakan, mengganti alat-alat yang rusak, sampai memasang kembali alat-alat yang mereka tanggalkan tadi. Sungguh pekerjaan yang menuntut suatu sikap sabar yang sangar besar. Mereka sabar dalam memperbaiki motor-motor yang rusak. Mereka sabar ketika ada-ada saja perintah dari pemilik motor yang kadang-kadang cerewet. Saya hanya mengangguk-anggukkan kepala ketika saat bersamaan ada seorang bapak yang tidak terima dengan hasil pekerjaan tukang bengkel. Tukang bengkel tersebut malah memperbaiki kembali motor bapak tetsebut, yang menurut saya sudah baik.
Yang terakhir, pengalaman yang dapat saya ambil dari seorang tukang servis motor yaitu mereka sangat fokus dalam memperbaiki motor-motor yang rusak. Fokus merupakan hal yang sangat penting dalam mengerjakan sesuatu, tetapi jika mengerjakannya di tempat yang kotor dengan oli, polusi asap motor, ributnya suara motor, itu tidak mungkin. Tetapi inilah keunggulan tukang servis motor tersebut. Di tengah panasnya udara, belepotan oli, bau tak sedap, suasan yang bising, mereka tetap fokus pada pekerjaan mereka masing-masing.
Itulah empat pelajaran berharga yang saya dapatkan dari tukang servis motor. Pertama, cermat dalam mengerjakan sesuatu. Kedua, teliti dalam mengerjakan sesuatu. Ketiga, sabar dalam menghadapi masalah. Keempat, fokus dalam mengerjakan sesuatu.
SELESAI

Selasa, 12 April 2011

Cerita Rakyat

Pak Alui Pulakng Nobas
Peneliti: Bastian
Informan: Reka

Jediy Pak Alui ke umow, nobas umow. Nobas umow, sedakng des pulakng kan pulakng. Pulakng akher eh, begegap, setelah nyuw konuw kedodas antuw, demow eh Antuw Sanokng. Antuw Sanokng tuw adalah antuw malam. ngasow keragow antuw, rinyet nayiy, nayiy di kayuw gira` demow eh. Demow kayuw tei gira`. Sampai ke edatn kayuw gira`, edatn kayuw di taiy eh, yow pun betahan diynuw. Antuw Sanokng itu tadiy nak nayiy jum, cabut isaw di kelasiy eh kuliiy kayuw gira`, laluw akher eh kuliy kayuw gira` habis konuw kelasiy eh, antuw Sanokng noleh eh naiyiy. Celow eh Pak Alui pun noleh turun. Laluw bemalam-malam nyuw, Pak Alui di pucow gira`, antuw Sanokng di eputn eh.
Kemudian sampai siakng, antuw Sanokng pun kan lariy. Dah nyuw detakng biniy eh, ngogow lakiy eh tei, ngogow Pak Alui. Gogow tei peratiy, di pucow gira`.
“Ha ... Ji Pak Alui, akuw tebengkokakng Now Alui ei, naiy uleh, piy turun noleh. Potiy carow kuw turutn tuw”.
“Jediy ji bini eh gei, sabow kau jak yakng di pucel, kei kaw turun”.

Mat am tek, pucel sabow, singkol eh ke datn gira`. “Ne ji eh now detakng”, Ji biniy eh gei, “di tariy agey pulah singkol be awak, kei kuw ngenyolak rantai muntiy tuw kuw isey ketn sabow kaw agey yakng di dengaw”.
Ji eh mat am, amel am tek ke dengaw. Di singkol laluw dijulow ken muntiy. Dah nyuw tei maseh now tentuw detakng. Gow nyuw tei, ngerurus dariy betakng nyuw tei, ntum ngelumpat. Dah somak dem tek ke tanah.
“Lopas des am, aman, ji eh gei”. Tapiy ji eh ”kuw laluw cum am kei sabow kuw, nak ngimel yakng di atas now detakng nak nguleh eh.
Ji biniy eh, “jemulaw kuw tuw am kei ebekng-ebekng sabow kaw kei manuw ke dengaw.
Jediy mat am tek, pucel le biniy eh jemulaw eh. Jediy beebekng-ebekng ken nyuw am manuw ke dengaw, pulakng ke dengaw.
Dah pulakng ke dengaw, “ngopai detn tepemalam”, ji anak eh.
Ji eh, “oi konuw keragow antuw Sanokng”, jak ji eh gei “antuw Sanokng noleh eh naiy, akuw noleh turutn, betomuw ketn inow kaw. Akal eh dow, pakai sabow kei kuw pulakng”.
“nyeh lapar now Pak?” ji anak eh gei.
“yow lapar”.
“Dow dah nasei rompah, kajiy kuw detn matiy, kuuuur semongat apak”, ji eh.

Dah nyuw makan am Pak Alui tek.
Ji ana` eh, “mun dah makan tidor rekng Pak”,
Ji apa` eh,”ow”.

Dah makatn, dah konyang, ngudut, dah nyuw samel ngudut nyuw kan istrahat, ngalai-ngalai. Setelah dah ngalai ceritow pun selesai. Sekian.


2. Bahasa Indonesia

Pak Alui Pulang Nebas
Jadi Pak Alui pergi ke ladang, sedang menebas rumput dan hama yang tumbuh di sekitar pohon padi di ladangnya tersebut. Pada saat nya untuk pulang, maka Pak Alui juga pulang. Maka pulanglah Pak Alui, tetapi kemalaman ditengah jalan. Setelah itu, karena pulang malam maka dikejar dan ditakuit oleh hantu. Namanya Hantu Sanokng. Hantu Sanokng ini merupakan hantu yang berkeliaran di malam hari. Merasa dikejar hantu, Pak Alui pun lalu memanjat pohon Girak. Sampai ke dahan kayu tersebut, dia pun lalu bertahan didahan tersebut. Sementara itu, Hantu Sanokng pun juga ingin memanjat kayu tersebut. Ambil parang, lalu dikulitilah kulit kayu tersebut, sehingga pohon kayu tersebut menjadi licin dan Hantu Sanokng tidak bisa naik ke dahan kayu itu. Sialnya, karena kulit kayu sudah hilang dan pohon kayu menjadi licin, Pak Alui pun menjadi tidak bisa untuk turun ke tanah. Maka semalaman itu, Pak Alui tidur diatas pohon girak.
Esoknya, Hantu Sanokng pun sudah pergi. Datanglah istrinya mencari dia. Mencari dan terus mencari rupanya Pak Alui ada di dahan kayu girak.
“Ha”, kata Pak Alui, saya tadi malam tertidur dipohon ini karena tidak bisa pulang, gara-gara dikejar hantu, naik bisa tetapi turun tidak bisa”.
Jadi kata Mak Alui, “celana (dari kulit kayu) itu saja yang kamu koyak dan digunakan untuk turun”.
Maka Pak Alui pun melepas celananya disobek dan diikat ke dahan kayu girak lalu digunakan untuk turun. Tetapi, ternyata celana tersebut masih belum datang ke tanah.
Kata Pak Alui,” ini tidak nyampai ke tanah”.
“Ini saya berikan pengikat kepala saya untuk menambah celana (dari kulit kayu) untuk kamu turun”, kata Mak Alui.
Dan akhirnya karena sudah tersambung, maka Pak Alui perlahan-lahan mulai turun.
Sampai ke tanah, “aman”, katanya.
Tetapi kemudian karena celananya sudah digunakan untuk turun maka sekarang Pak Alui sudah tidak memakai celana lagi. Ia pun berkata kepada istrinya “haduh celana saya sudah digunakan untuk turun tadi, mau mengambilnya ke atas, tangan saya tidak datang”.
Jawab Mak Alui,”ini pakai kain ini saja untuk kamu pulang”.
Jadi benarlah, dengan menggunakan kain pemberian istrinya Pak Alui pulang ke rumah.
Sampai dirumah, “kenapa bapak tidak pulang semalam?, kata anaknnya.
Jawab Pak Alui, ”oii ... semalam bapak dikejar Hantu Sanokng”, lanjutnya, Hantu tidak bisa naik ke atas pohon, tetapi bapak juga tidak bisa turun, untung tadi bertemu dengan mama kamu”.
Lalu kata anaknya, ”apakah bapak lapar?”.
“Ya, lapar”.
“Ini sudah ada makanan yang saya masak, saya kira bapak sudah meninggal, (kuuuur) semangat bapak”.
Setelah itu, makanlah Pak Alui.
Kata anaknya, “setelah makan bapak istirahat saja”.
Kata Pak Alui, “iya”.
Selesai makan, perut pun kenyang, merokok, sambil baring-baring, Pak Alui pun istirahat. Sekian.

Senin, 11 April 2011

MEMBUAT LAPORAN LAPANGAN

MEMBUAT LAPORAN LAPANGAN
Oleh: Bastian
CARA MEMBUAT LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN (PKL)

A. PENDAHULUAN
Mahasiswa yang akan membuat laporan PKL diwajibkan untuk membuat kerangka, outline atau proposal laporan PKL, sebagai gambaran dari penelitian yang akan dilakukan oleh mahasiswa yang bersangkutan serta rencana isi dari laporan PKL yang akan ditulis.
Proposal ini harus disetujui leh dosen pembimbing/Direktur STAN atau pejabat yang ditunjuk. Oleh sebab itu pembahasan dengan dosen pembimbing merupakan keharusan.
Proposal laporan PKL harus dibuat secara formal sesuai ketentuan yang berlaku. Hal-hal yang harus dimasukkan dalam proposal tersebut antara lain mencakup bentuk/format, isi, jumlah eksemplar, penjilidan maupun kegiatan yang akan dilakukan.


B. ISI
Outline laporan PKL pada dasarnya merupakan usulan atau rencana penelitian. Isi outline meliputi :

1. Bagian Pendahuluan, yang terdiri dari :
a. Halaman judul (lihat contoh).
b. Tanda persetujuan (lihat contoh)
c. Daftar isi.

2. Bagian isi (Batang Tubuh) yang terdiri dari :
a. Pendekatan/tujuan penyusunan laporan PKL
Bagian ini menjelaskan pendekatan dalam pembahasan atau tujuan yang ingin dicapai. Laporan PKL dapat disusun dengan menggunakan pendekatan positif (+) yang hanya bertujuan untuk menjelaskan fakta/praktik yang diamati berdasarkan teori tertentu, atau dengan pendekatan normatif yang bertujuan untuk memberikan saran-saran atau fakta/praktik yang diamati berdasarkan pada teori tertentu.

b. Metode penelitian
Bagian ini menjelaskan mengenai cara pengumpulan data yang direncanakan, apakah melalui study kepustakaan atau penelitian langsung. Rencana kontinjensi dapat dikemukakan pada bagian ini untuk mengantisipasi perubahan metode penelitian. Rencana kontinjensi ini harus menyebutkan prioritas metode penelitian dengan diikuti prioritas-prioritas berikutnya.

c. Rencana daftar isi
Rencana daftar isi memuat rencana isi laporan PKL yang akan ditulis.

d. Sinopsis
Sinopsis merupakan uraian singkat atau ikhtisar mengenai isi laporan PKL. Secara keseluruhan, sinopsis mengemukakan permasalahan pokok yang akan ditulis dan panjangnya adalah antara 2-3 halaman.

e. Ringkasan isi tiap-tiap bab
Bagian ini memuat deskripsi singkat mengenai isi masing-masing bab. Uraian hendaknya tidak hanya menyebutkan rincian isi, tetapi juga memuat uraian singkat materi masing-masing bab.

f. Rencana daftar pustaka
Bagian ini memuat daftar literatur (buku, teks, artikel, dsb) yang direncanakan akan digunakan dalam penulisan laporan PKL. (Khusus untu mahasiswa program Diploma I Keuangan, daftar pustaka boleh tidak dicantumkan).

3. Bagian penutup
Sebagai proposal penelitian, outline perlu dilengkapi dengan aktivitas-aktivitas yang akan ditempuh dan jadwal pelaksanaannya. Bagian ini mencakup uraian tentang aktivitas dan periode pelaksanaannya. Jika perlu, masukkan pula rencana kontinjensi di bagian ini.

C. PEMBAHASAN DAN PERSETUJUAN
Proposal atau outline laporan PKL harus dibahas terlebih dahulu dengan dosen pembimbing. Setelah disetujui, outline tersebut harus diserahkan kepada lembaga untuk diperiksa mengenai ada/tidaknya duplikasi judul atau kesamaannya dengan karya tulis/laporan PKL/karya tulis tugas akhir atau skripsi terdahulu dan diajukan kepada Direktur STAN guna mendapat persetujuan.

D. PERUBAHAN
Selama riset/penulisan/pembahasan, ada kemungkinan terdapat perubahan-perubahan yang perlu dilakukan atas ouline semula. Jika perubahan tersebut cukup signifikan (menyolok) maka perubahan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari Direktur STAN. Perubahan hanya diperbolehkan dalam jangka waktu 6 (enam) minggu sejak outline pertama disetujui. (Perubahan ini tidak menyebabkan tambahan batas waktu penyelesaian akhir.

E. JUMLAH OUTLINE
Outline harus dibuat sebanyak tiga rangkap, rangkap pertama untuk mahasiswa, rangkap kedua untuk dosen pembimbing dan rangkap ketiga untuk sekretaris bidang.

F. CARA PENULISAN
Outline harus disusun sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketentuan-ketentuan pokok untuk penulisan outline adalah sebagai berikut :
1. Kertas
Kertas untuk outline PKL adalah kertas HVS 60-80 gram ukuran kuarto.

2. Marjin teks
Marjin kiri, kanan, atas dan bawah untuk teks adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk karya tulis ilmiah, yaitu masing-masing secara berturut-turut adalah : 1.5, 1, 1, dan 1 inchi.

3. Jarak Baris
Jarak baris untuk teks adalah 2 spasi, kecuali untuk daftar pustaka.
Jarak baris teks untuk daftar pustaka adalah 1 spasi, dan jarak antar daftar pustaka adalah 2 spasi.

4. Bahasa
Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

5. Pengetikan
Outline dapat diketik dengan komputer atau mesin ketik manual. Ukuran huruf yang disyaratkan adalah 10-12 huruf per inchi.
Jika menggunakan komputer, hasil cetakannya haruslah bukan dalam bentuk ”draft”. Selain itu, teks harus ditulis secara rata (inden) kiri dan kanan, kecuali untuk bagian-bagian tertentu seperti daftar pustaka.

6. Nomor halaman
Tiap halaman harus diberi nomor halaman sebagai berikut :
a. Bagian Pendahuluan;
Nomor halaman diberikan di bagian tengah bawah dengan menggunakan angka Romawi kecil (i, ii, dst).
Halaman judul tidak perlu diberi nomor halaman, tetapi dihitung sebagai satu halaman.

b. Bagian Isi (Batang Tubuh)
Nomor halaman diberikan dibagian tengah bawah dengan menggunakan angka arab (1, 2, dst.)

c. Bagian Penutup;
Sama dengan Bagian Isi, dan untuk bagian ini nomor halaman merupakan kelanjutan dari Bagian Isi.

7. Penjilidan
Outline laporan PKL harus diberi sampul dan dijilid dengan rapi. Gunakan plastik terang untuk sampul depan.

G. KONTINJENSI
Mengingat perubahan signifikan atas isi laporan PKL memerlukan persetujuan kembali oleh pejabat yang ditunjuk oleh Direktur STAN dlama jangka waktu yang telah ditentukan, maka laporan PKL hendaknya disusun dengan mempertimbangkan kesulitan-kesulitan yang mungkin akan dihadapi di kemudian hari.

Analisis Puisi

ANALISIS PUISI “PADAMU JUA” dan PUISI “DOA”
By: Bastian


1. Sense
1.1 Dalam puisi Amir Hamzah (“Padamu Jua”) persoalan secara umum yang di gambarkan dan diciptakan oleh penyair adalah seseorang yang merasa kehilangan cinta dari seorang kekasih, sehingga ia kembali pada Tuhan. Pertemuan dua orang kekasih yang telah lama berpisah (antara Aku dan Tuhan).
1.2 Chairil Anwar (“DOA”) persoalan secara umum yang di gambarkan dan diciptakan oleh penyair adalah seseorang yang selalu ingat pada Tuhan dalam keadaan apapun.
Perbedaan: Amir Hamzah (“Padamu Jua” ) mengisahkan bahwa Ia selalu ingat pada Tuhannya hanya pada saat ia merasa terpuruk dalam masalah atau saat ia sedih saja. Sedangkan Chairil Anwar (“DOA” ) mengisahkan bahwa Ia selalu ingat pada Tuhannya kapan pun baik saat senang atau pun saat sedih.
Persamaan: secara garis besar kedua puisi tersebut memiliki persamaan yaitu objek puisinya adalah Tuhan (sama-sama mngisahkan Tuhan).
2. Subject Matter
2.1 Puisi 1: Amir Hamzah (“Padamu Jua”) pokok pikirannya:
• Setelah seseorang merasa menderita dan sakit barulah ia ingat pada Tuhan/kembali pada Tuhan.
• Menyatakan Tuhan adalah segalanya, yang menjadi penuntun hidup sang pengarang dan selalu setia mencintai manusia.
• Mengisahkan seseorang yang rindu pada Tuhan.
• Seseorang yang mencari Tuhan, setelah ia menderita namun tidak pernah ia temukan karena Tuhan ada di hatinya.
• Tuhan memberi cobaan yng bertubi-tubi agar sang Aku (pengarang) kembali pada-Nya.
• Ia kembali pada Tuhan, namun banyak saja cobaan, ia merasa belum mendapat kebahagiaan tapi ia bertekat bahwa kesedihan tidak akan lagi mau ia rasakan.
2.2 Puisi 2: Chairil Anwar (“DOA”) pokok pikirannya:
• Dalam keadaan apapun selalu ingat Tuhan (baik susah, sedih, senang).
• Kembali pada Tuhan
• Ia merasa tidak berdaya, tidak bisa berbuat apa-apa.
• Penyair menyatakan bahwa Tuhan adalah miliknya.

3. Feeling
• Amir Hamzah (“Padamu Jua”) sikapnya penyair terhadap pokok pikiran yaitu penyair merasa rindu dan membutuhkan Tuhan hanya saat dia sedih atau ada masalah saja.
• Chairil Anwar (“DOA”) sikapnya penyair terhadap pokok pikiran yakni penyair merasa selalu membutuhkan Tuhan dalam keadaan apapun, baik saat sedih atau senang.
Perbedaan dari segi feeling: Amir Hamzah merasakan bahwa ia selalu merasa berubah, dia tidak tepat pendirian, kadang ingat pada Tuhan, tapi kadang melupakan Tuhan. Sedangkan Chairil Anwar merasakan bahwa ia selalu tepat pada pendiriannya, akhirnya ia tidak mudah melupakan Tuhan karena masa lalunya yang suram. Ia selalu ingat pada Tuhan.
Persamaan dari segi feeling: persamaan pada kedua puisi tersebut yaitu sama-sama mengisahkan kerinduan pengarang pada Tuhan dan ingin mendapatkan rahmat atau pengampunan dari Tuhan.
4. Tone
• Amir Hamzah: sikapnya terhadap pembaca yaitu selalu masa bodoh, karena ia seolah mengungkapkan perasaan atau curahan hatinya pada Tuhan, bukan pada pembaca. Ia masa bodoh terhadap pembaca, mau mengikutinya atau tidak.
• Chairill Anwar: sikapnya terhadap pembaca yaitu masa bodoh tetapi pada puisi ini penyair berusaha meyakinkan pembaca bahwa kita harus selalu ingat pada Tuhan.
Perbedaan: pada puisi Amir Hamzah: ia secara tidak langsung ingin menunjukan kepada pembaca tentang segala masalahnya, dan bagaimana sesuatu yang ia rasakan itu bisa membuatnya berubah dan kembali pada Tuhan. Sedangkan pada puisi Chairil Anwar ia tidak begitu menampakkan segala sesuatu yang terjadi padanya karena ia merasa Tuhan yang mengetahuinya.
Persamaan: dari kedua puisi tersebut sama-sama masa bodoh terhadap pembaca.
5. Totalitas Makna
• Amir Hamzah: makna keseluruhan yang tedapat pada puisinya yaitu: penyair merasa kehilangan dan kembali pada Tuhan karena Tuhan selalu menuntunnya kembali ke jalan yang benar (Tuhan). Ia merindukan Tuhan dan ingin kembali pada Tuhan tetapi banyak cobaan yang ia hadapi untuk mendapatkan kebahagiaan dari Tuhan. Namun ia bertekat untuk tidak akan lagi merasakan kesedihan.
• Chairil Anwar: makna keseluruhan yang terdapat dalam puisinya yakni ia selalu merasa ingat pada Tuhan dimanapun dan dalam keadaan apapun ia berada baik suka maupun dukan. Ia akan selalu berada di jalan yang benar atau yang ditunjukan oleh Tuhan.
Perbedaan: dari totalitas makna, pada puisi Amir Hamzah banyak mengungkapkan masalah yang ia hadapi sehingga kita kurang paham masalah yang sebenarnya. Sedangkan pada puisi Chairil Anwar hanya terarah pada satu atau beberapa persoalan sehingga mudah untuk dipahami.
Persamaan: dari totaliats makna , kedua puisi tersebut sama-sama ditujukan atau mengarah pada Tuhan.
6. Tema
• Amir Hamzah: Dosa dan pengharapan untuk kembali pada Tuhan (pertobatan).
• Chairil Anwar: Doa seseorang yang selalu ingat akan Tuhan.
Perbedaan: dari segi tema, puisi Amir Hamzah lebih menekankan pada pertobatan sedangkan puisi Chairil Anwar lebih menekankan pada doa yang selalu ingat pada Tuhan.
Persamaan: dilihat dari tema, puisi tersebut sama-sama difokoskan atau sasarannya adalah pada Tuhan.

Rabu, 30 Maret 2011

Belaian Kasih Bunda

Belaian Kasih Bunda

Oleh:  Asteria Niarti



Kasih seorang ibu tak berhingga
“Gue hamil!!!” seruan rigan dari mulut penuh dengan jejalan asap rokok itu membuat mataku membelalak.
“Biasa aja dong, Nov, jangan heboh gitu! Besok gue mau ke dukun kok,” ujaran itu mengorek rasa keingintahuanku.
“Mau ngapain? “ tak urung pertanyaan itu meluncur juga dari mulutku, gelakan tawa memburai di mulut Ratih.
“Ha..ha..ha, tulalit lu, ya Nov. Mau ngapain lagi gue kalau bukan aborsi?” aku semakin terbelalak.
“Ab...aborsi?”.
“Kan gue bilang ‘biasa aja deh’! kalau elu kampungan seperti ini, elu bakalan jantungan gara-gara gue. Gue ini orangnya bebas, gue cewek merdeka, bukan cewek macam zaman Siti Nurbayana kayak dulu. Makanya elu harus menyesuaikan diri dengan gue yang sekarang, oke?”


Aku hanya yerdiam, aku takut, Ratih..., mengapa dia sekrang semakin gawat begini sih? Padahal dia adalah yang selama ini kujadikan model seorang remaja gaul, remaja yang oke. Kok...?
Dalam hening, asap rokok yang terselip di antara bibir Ratih tak henti membumbung, kutatap matanya yang menerawang, kosongdan hanya terisikan kehampaan hidup, entahlah... mungkin ia juga telah menggunakan obat-obatan.
Malam itu adalah malam terakhir aku di tempat kost itu dan menemani Ratih. Aku bnar-benar tidak menyangka bahwa ada kemungkinan kami akan bertemu lagi, karena aku pindah kost jauh dari Rumah Metal itu. Dan sengaja mencari suasana yang benar-benar berbeda. Aku luar biasa takut, dengan pergaulan yang dibawa anak-anak metal dan si Ratih. Dan alhamdulilah... aku mendapatkan pergaulan yang lebih mencerahkan kemudian, di tempat kost baru.

***

Empat tahun kemudian...
Udara menyengat, aku berjalan tergesa-gesa. Jubah yang kupakai ternayta cukup mempersulit langkahku.Bagaimana tidak, jubah yang kupinjam dari Mbak Nia ini ternyata kekecilan bagi ukuran badanku. Maklum deh, aku kan baru aja hijrah, belum punya banyak baju-baju yang menutup seluruh aurat. Jadi aku harus minjam deh...
Aku masih terus saja disibukkan dengan masalah jubah motif unga-bunga yang kekecilan ini, ketika tanpa kusadari, aku menabrak jatuh seorang wanita bergincu tebal dan memakai rok mini itu.
“Dbruuk..!”
Aku hanya busa menatap kertas-kertas yang bertebaran dari map kerja yang berjatuhan itu.
“Aww!” teriakan kecil tergumam dari mulut wanita berdandan norak di hadapanku, ia tersungkur. Cepat-cepat aku membantunya berdiri.
“Mm...maaf! Aduh...maaf ya mbak, tidak sengaja!!”
“Mbak...mbek..! gampang banget lu minta maaf? Heh... jalan tuh yang benar dong. Mata lu di mana?” Omelnay sewot. Aku membantu memungut map kerjanya yang berserakan di jalan. Namun baru saja aku hendak memberikan map itu kepadanya, ketika sekilas kutatap sorot matanya yang kosong, mengingatkanku kembali pada sorot mata seseorang empat tahu yang lalu.
“ Ra..Ratih!” seruku ketika berhasil mengingat nama dari sosok itu, masya Allah ia telah berubah sekali! Ia menatapku curiga.
“Siapa ya?” Ia bertanya menyelidik, sepertinya ingat-ingat lupa gitu.
“Nov, teman sekost di Rumah Metal dulu”, sahutku sambil tersenyum selebar mungkin, tak urung belalakan mata Ratih ikut pula melebar, setelah itu, kami segera mencari tempat yang aman untuk mengobrol.
“Kamu berubah banget loh,” seruku membuka pembicaraan, Ratih hanya melirik ketus ke arahku.
Elu apalagi!” ujarnya singkat, aku tersenyum bangga sambil melirik jilbab yang kukenakan. Memang, seruku dalam hati, lalu akupun tertawa sendiri karena si Ratih tidak mau ikitan, he...he...
Warung bakso ini begitu ramai. Kami duduk di bangku paling pojok dekat jendela. Angin semilir yang masuk membuat jibabku melambai pelan, aku masih menatap Ratih yang seakan berada di hadapanku, gincu tebal, rok mini, dan map-map yang dibawanya memancingku untuk menanyakan sesuatu padanya.
“Kamu kerja di mana?” tanyaku. Ratih menatapku tak suka.
“Kantor papa gue,” jawabnya dingin, aku aja heran, padahal dulu Ratih orang yang paling ramah dengan senyumnya (malah sepertinya keterlaluan). Kok sekarang “cool” begini sih?
“Kenapa sih kamu aneh?” tanyaku lagi, berusaha menyeruak penasaran di hati, Ratih semakin menyipitkan matanya, ia menatapku serius, lalu tiba-tiba saja ia mengacak-acak rambutnya.
“Ahh... gue nggak tahu deh, sejak si Rita, anak gue lahir, gue jadi sering darah tinggi.” Aku mlongo. Masya Allah! Aku lupa dengan alasanku sendiri waktu meninggalkannya empat tahun yang lalu. Ratih sudah mempunyai anak?
“Dulunya sih gue mau aborsi, tapi kan dosa ya?” Alhamdulilah. Ratih masih mengenal dosa, tapi...
“Tapi aktu anak gue lahir, gue malah menyesal sendiri. Gue kan masih muda, mengapa tidak menikmati hidup dahulu? Udah kayak mpok-mpok aja ngendon di rumah terus. Emansipasi wanita dong! Makanya gue cari pekerjaan di kantor papi gue.”
Ha? Aku terbengong.
Entahlah, sejauh mana Ratih, sahabat lamaku ini, mengenal emansipasi yang digembar-gemborkan para feminis itu, padahal... Islam mempunyai pandangan yang lebih memuliakan wanita.
Tiba-tiba aku jadi gerah sendiri, masalahnya pemahamanku belum mencapai kemampuan memberikan sesuatu untuk Ratih. Bila sajaMbak Nina ada di sini... pikiranku menerawang.
“Sekarang kamu tunggal di mana?” tanyaku. Ratih menggenggam erat geas jus alpukat di hadapannya.
“Ya udah, sekarang elu sekalian aja ikut gue pulang biar tahu rumah gue! Mau nggak?”
Aku berpikir sebentar, dan akhirnya....
Mmm... boleh deh, sekalian mau liat keponakan, he..he..!” mulut Ratih mengerucut, setelah membayar makanan, akupun segera mengikuti Ratih ke rumahnya.

***


Aku menatap rumah itu, rumah yang sederhana, tanpa sebatang tanaman pun yang menghias, kalau dilihat siang bolong begini, maka akan berkesan gersang, lagi pula nyaris semua dindingnya berlapiskan keramik putih, bikin mata jadi silau saja!
“Ma...ma!” seru seorang gadis kecil sambil menggelayutkan tangannya ke rok Ratih, oh... ini toh anaknya! Subhanallah, lucu!
Aku tersenyum ke arah gadis kecil yang manis itu, namun Ratih malah menepis tangan mungil anaknya sendiri dari rok kerjanya.
“ Ah...rese’ lu “ serunya kasar, aku beristigfar, kaget.
“Eh, Ratih! Sama anak sendiri kok begitu sih? Nabi aja kalau sama anak kecil bersikap lembut,” seruku. Namun Ratih malah mendongkol.
“Emangnya dia anak lu?” tanyanya luar biasa kasar. Wah... benar-benar darah tinggi nih! Aku menelan ludah, sifat takutku dulu pada Ratih muncul kembali, Ratih masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintu.
“Dbbrakkk..”
“Uuh...Mama...!” ujaran lemah Rita kecil itu membuatku berjalan menghampiri dan merangkulnya. Namun aku segera tersentak kala melihat memar-memar biru itu melekat di lengannya dengan jumlah yang banyak. Hah? Memar apa ini? Tanya batinku sendiri. Dan pertanyaan itu segera terjawab saat teriakan Ratih menggema di seluruh ruangan (meski dia teriakannya di dalam kamarnya sendiri), yang sempat membuat jantungku berhenti sebentar karena kaget.
Uaaaaa... dasar anak sialaaa...nn!!!” Ratih keluar dari kamarnya dengan emosi yang menyala-nyala.
“Heh, kamu apain kamar mama tadi, hah? Anak gila! Ini surat-surat kerja mama robek semua. Dasar kurang ajar!” Ratih mengacung-acungkan sobekan kertas ke arah Rita.
“Minta dicubit kamu, ya? Heh?” tangan “terampil” Ratih mulai mengambil lengan mungil Rita dan mencubitnya kencang-kencang hingga terciptalah memar biru itu. Rita mengaduh-aduh minta ampun, namun Ratih tidak juga melepaskan cubitannya.
“Dasar anak nakal, anak gila, nggak tahu diri! Nih, rasain!”
“Aduh...aduh...Ratih, jangan dong!” aku mencoba melerainya. Rita menangis kejer.
“Ratih...mengapa sih kamu sadis begini sama anak sendiri? Kamu kejam Rat....!” seruku lagi. Berhasi! Sejenak Ratih menghentikan cubitan tajamnya itu.
“Eh, jangan mentang-mentang teman gue, elu ikut campur maasalah gue ya! Ni anak emang udah keterlaluan. Berapa kali dia menyobek kertas-kertas kerja gue! Emangnya gue kerja buat senang-senang? Setres tahu!”
Lo? Kok jadi ikut marah ke aku juga nih? Aku segera menarik Rita ke dalam dekapanku, yah... daripada nanti kena omel Ratih lagi.
“Iya...iya...aku tahu Rat, kamu setres! Tapi anak seumur Rita ini kan memang tidak tahu apa-apa, setidaknya jangan sampai kamu memukuli dia. Seharusnya kamu didik dia agar tahu mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan.” Yang aku ucapkan ini tdak salah kan? Tetapi Ratih malah sewot padaku.
“Jangan sok deh lu! Gue kan ibunya, gue yang lebih berhak atas Rita,” begitu katanya.
Ratih lalu menarik paksa tubuh kecil Rita dari dekapku, masya Allah! Ia terlalu kasar menarik lengan mungil itu, Rita terlempar ke arah kursi dan... Allahu Akbar!
“Duakkk...”
Aku menutup mata atas kejadian berikutnya. Kepala bocah kecil itu terbentuk pada pinggir kursi. Ia...ia...pingsan! Tergeletak tidak berdaya dengan darah segar nan mengalir di pelipisnya. Sesenggukan kecil mulai bersarang di tenggorokanku,. Tidak...tidak...! Rita!
Kemudian sirene ambulance pun menggaum, sedang aku masih berada dalam keterpekuran air mata, diam seribu bahasa, entah.. bagaimana dengan Ratih? Sempat kulihat, amtanya masihosong seperti lima tahun yang lalu.

***



“Rita, dia...dia...” Ratih tidak kuasa menahan tangisnyayang luluh, remuk redam saat mengabarkan keadaan Rita padaku esok harinya.
“Gue...gue emang sok mengikuti pergaulan bebas, ya? Sampai punya anak segala,” bibir yang kini pucat itu menguraikan kisahnya satu-satu.
“Gue...gue ibu yang jahat, anak salah malah gue pukul, dan tidak gue perbaiki kesalahannya itu. Gue memang tidak bisa mendidik anak!” Ah... betapa penyesalan kemudian tidak berguna. Toh Rita kecil itu kini masih terkulai di rumah sakit dan diagnosa dokter memvoniskan kemungkinan besar Rita akan kehilangan ingatannya, menjadi seperti apa yang pernah bundanya sumpahkan: “gila.”
Ratih berurai air mata,”Gimana dong sekarang Nov? Gue nggak mau anak gue hilang ingatan, papi gue aja udah malu berat waktu tahu Rita lahir nggak punya ayah, apalagi sekarang...,” kalimat itu menggantung, dan aku tidak bisa menjawabnya, bagaimanapun bertawakal pada Allah adalah satu-satunya jalan.

***


Aku melangkah pelan menyusuri trotoar, paahal jubah yang kukenakan sudah tidak kesempitan lagi, inijubah yang baru kemarin kubeli. Tapi pikiranku masih menembus bayangan Ratih saat terpaku menatap al membelai Rita di kamar VIP rumah sakit.
Namun tiba-tiba saja pandanganku tertuju pada seorang bunda yang menyeret paksa anaknya yang meronta-ronta terisak.
“Ampun, Mak! Ampun! Huaaaa...”
“Dasar anak eda, udah siang begini masih juga keluyuran! Tambah dekilnanti badan lu!” ucapnya kasar, tanpa kasih sedikitpun. Aku menggelengkan kepala.
Masya Allah...mengapa sekarang ini semakin banyak saja bunda yang mengucakan sumpah serapah pada anaknya sendiri? Tidak bisakah ia memdidk anakny dengan perkataan yang lebih layak? Dengan belai kasih seorang bunda?
Aku hanya dapat terdiam, menjerit dalam hati, berusaha menghilangkan kegalauan diri, namun ia tidak juga hilang, terus mengalir seiring perjalanan.

***