Jumat, 28 Oktober 2011

PUISI-PUISI SISWA SMA 1 SUNGAI RAYA

Guruku
Karya: Ari Setiawan Kelas XF

Guruku kau selalu dihatiku
Guruku kau tak pernah lelah mengajariku
Kalaupun hujan dan panas
Guruku kau begitu sabar

Saat teman-temanku ribut tapi kau tetap semnagat mengajariku
Guruku aku sangat bangga pada mu
Dan atas jasamu aku bisa sukses

Guruku dirimu takkan kulupakan jasa dan pengorbananmu
Walaupun dirimu jauh dari hatiku
Tapi namamu akan kukenang dihatiku
Guruku aku sangat berterima kasih padamu.













Tak Mengerti
Karya: Utami (kelas XF)

Tiupan angin yang sejuk
Lambaian nyiur menyapaku
Gelapnya langit, tanpa bintang, dan sang bulan
Turunnya embun yang membasahi bumi

Sepontan bimbang entah mengapa ...
Gundah, kacau, gelisah yang kurasakan ...
Kumencari apa yang sebenarnya terjadi?
Kupejamkan matamu ini ...

Dan membaca apa yang tertulis ...
Aku kecewa ...
Mengapa, kata kecewa yang kutemukan dihatiku ...
Berdetak laju dan berlinanglah air mata ini ...

Hingga siang ini aku tak mengerti ...
Apa yang mengerti?
Dan aku terus mencari-cari ...
Perpisahan ...

Kata perpisahan yang terus menghantuiku ...
Apa?
Mengapa rasa ini terjadi, apakah dia yang akan pergi?

Jangan Tuhan ...
Aku tak sanggup ...
Karna aku sangat mencintainya ...


IBU
Karya : Erni (kelas XF)

Sembilan bulan engkau mengandungku ...
Merawat dan mendidikku ...
Hingga kutumbuh besar ...
Ibu ...
Belaian lembut dari tanganmu ...
Dan kasih sayang yang telah engkau berikan padaku ...
Akan kukenang sepanjang hidupku ...
Ibu ...
Terima kasih atas semuanya ...
Kasih sayang yang telah engkau berikan kepadaku ...
Kini sekaran kusudah tunbuh besar ...
Itu semua berkat kasih sayangmu ...
Semoga yang engkau berikan kepadaku mendapat imbalan dari Tuhan ...

Selasa, 04 Oktober 2011

KASEBEN
(Tradisi Lisan Dayak Simpang)
Oleh: Bastian Arisandi
Banua Simpang adalah istilah lokal yang dipakai oleh suku Dayak Simpang untuk menyebut satu-kesatuan-geo-politik wilayah pemukiman mereka. Dalam konteks pembagian wilayah administratif, Banua Simpang meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Simpang Hulu dan Simpang Dua Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat. Kawasan ini terletak diantara 1200 1.44 – 1200 21. 51 BT dan 60 46- 70 43. 58 LS (Institut Dayakologi, 2003: 1). Dari segi bahasa, terdapat tiga bahasa yang dituturkan oleh masyarakat Dayak Simpang. Pertama bahasa Baram, kedua bahasa Gore, dan ketiga bahasa Baya. Penduduk asli Kecamatan Simpang Dua adalah Suku Dayak dengan sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani karet dan berladang. Sedangkan suku-suku pendatang lainnya adalah Suku China (+7 %), Suku Jawa (+ 5%), Suku Papua (+3%). Sebagian besar suku pendatang tersebut adalah sebagai pedagang. Mulai dari pedagang sayur, pakaian sampai ada yang membuka mini market.
Masyarakat Dayak Simpang seperti masyarakat dayak lainnya yang mendiami Pulau Kalimantan merupakan sebuah etnik yang banyak sekali memiliki kebudayaan yang sangat menarik. Satu diantara budaya itu berupa sastra lisan. Sastra lisan merupakan karya sastra yang hanya dapat dinikmati melalui pendengaran. Sastra lisan tersebut masih banyak lagi ragamnya, yaitu cerita daerah, nyanyian lokal, dan masih banyak lagi jenis sastra lisan lainnya. Selanjutnya yang perlu untuk diperhatikan yaitu sastra lisan berupa nyanyian lokal. Mengapa demikian? Ini merupakan suatu langkah nyata dalam mengantisipasi kepunahan dari sastra lisan umumnya dan nyanyian lokal pada khususnya.
Gambar: dalam acara pernikahan adat, kaseben sering dinyanyikan oleh tetua-tetua adat.

Nyanyian lokal merupakan sastra lisan yang sangat menarik karena memiliki keunikan tersendiri yaitu dapat menghibur. Kaseben merupakan satu diantara nyanyian lokal tersebut. Kaseben merupakan lagu rakyat yang dituturkan dalam bahasa sastra yang tinggi (bahasa dalam) yang hanya dinyanyikan pada saat acara atau kegiatan tertentu. Kaseben biasanya dinyanyikan pada saat kegiatan yang bahagia, seperti acara pernikahan. Bahasa yang digunakan dalam keseben biasanya hanya dimengerti oleh orang-orang tertentu saja, sedangkan masyarakat biasa hanya bisa mendengar. Menurut F.X Beleng (53) yang merupakan Ketua Ketumanggongan (Ketua Adat) Dayak Simpang di Pontianak menjelaskan kaseben umumnya dinyanyikan atau dilagukan oleh orang-orang tua yang menghandiri suatu upacara tertentu. Selanjutnya menurut beliau tidak sembarangan orang-orang tua yang mengetahui untuk menyanyikan kaseben ini, tetapi hanya orang-orang tertentu saja. Saat ditanya apakah anda bisa menyanyikan kaseben, beliau hanya tertawa dan senyum-senyum saja.
“Saya bukannya tidak bisa, tetapi waktunya yang kurang tepat ungkapnya”. Mengenai waktu menyanyikan kaseben ini F.X Beleng yang merupakan dosen STKIP PGRI Pontianak mengungkapkan bahwa kaseben hanya bisa dinyanyikan pada saat-saat tertentu saja, ini karena berhubungan dengan makhluk halus atau roh arwah nenek moyang yang hadir pada saat tertentu tersebut. Ini sebenarnya merupakan nyanyian untuk makhluk halus dalam upacara adat tertentu, tetapi setelah mengalami perkembangan jaman kaseben dinyanyikan juga untuk menghibur manusia. Tetapi tetap harus dalam acara-acara tertentu saja. Livinus Prianidi membenarkan semua informasi tersebut. Beliau merupakan Ketua Masyarakat Simpang di Kota Pontianak. Menurut beliau kaseben ini bisa juga dilantunkan dengan musik-musik seperti gong gamal, ketawak, maupun sape.
Kaseben merupakan sebuah nyanyian yang dilagukan pada saat acara-acara tertentu yang diselenggarakan oleh masyarakat Suku Dayak yang mendiami daerah Simpang Dua Kabupaten Ketapang. Menurut FX. Beleng (52), kaseben ini nyanyian yang unik karena menggunakan bahasa dayak yang khas yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Lebih lanjut menurut beliau kaseben ini merupakan suatu budaya lisan khas dayak di Simpang Dua. Sama juga halnya dengan Martinus D. Ipoh (48) mengatakan kaseben sebenarnya merupakan nyanyian suci yang dilagukan oleh tua-tua adat pada saat acara atau upacara-upacara tertentu yang terdapat di Kecamatan Simpang Dua. Bahkan menurut beliau, sebenarnya pada masyarakat dayak lainnya juga terdapat kaseben, namun hanya penamaan saja yang berbeda disesuaikan dengan bahasa dayak yang bersangkutan. Sedangkan menurut Thomas Alexander (42) beliau berkata “berdasarkan pengetahuan saya selama hidup kurang lebih 15 tahun di kampung, jaman dulu orang-orang tua sering menyanyikan kaseben pada saat acara pernikahan dan acara-acara lainnya dimana orang tua yang satu menyindir orang tua yang lainnya dengan menggunakan kaseben ini”. Lanjut beliau yang merupakan anggota DPR Kalbar ini, “ selanjutnya orang tua yang lain akan membalas sindirian orang tua tadi dengan kaseben juga, intinya kaseben merupakan nyanyian yang digunakan untuk menyindir, mengolok dan membuat suasana menjadi riang gembira dengan menggunakan bahasa dayak yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Siapa yang tidak bisa membalas sahutan kaseben maka dianggap kalah”, ujar politisi dari Partai PDI Perjuangan ini.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa kaseben merupakan suatu budaya berupa nyanyian lisan suku dayak di daerah Simpang Dua dan sekitarnya yang dinyanyikan atau dilagukan pada saat acara-acara tertentu dengan menggunakan bahasa yang dalam yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Kaseben digunakan untuk membuat acara menjadi lebih meriah, menyindir lawan bicara, membuat lelucon dengan kata-kata yang berbeda tadi. Kaseben juga disebut sebagai nyanyian suci karena berhubungan dengan makhluk gaib.


Gambar: Kaseben dinyanyikan dengan iringan musik Gong Gamal.
Lebih lanjutnya Bapak Livinus Prianidi yang merupakan guru di sebuah sekolah swasta di Pontianak mengungkapkan, kaseben ini bisa dikatakan nyanyian yang sangat menarik dan enak untuk didengar, terkadang kita akan tertawa sendiri mendengar orang-orang yang menyanyikan kaseben. Baik F. X Beleng maupun Livinus Prianidi menolak untuk menyanyikan kaseben. Yang jelas menurut mereka bahasa dalam nyanyian kaseben merupakan bahasa yang sulit untuk dimengerti oleh orang lain. Bahasa yang terdapat dalam kaseben merupakan bahasa Dayak Dalam, mengapa demikian? Bahasa Dayak Dalam merupakan sebuah sarana komunikasi antara manusia dengan makhluk gaib sehingga bahasa ini hanya dimengerti oleh manusia tertentu saja.
Kaseben merupakan tradisi lisan masyarakat Dayak Simpang yang dinyanyikan atau dilagukan oleh beberapa orang tua yang dianggap memeilki spritual lebih mengenai hal-hal gaib. Mereka kemudian dianggap memeiliki kekuatan supranatural yang tentu saja berbeda dengan masyarakat biasa pada umumnya. Dalam menyanyikan kaseben sebenarnya tidaklah terlalu rumit , tidak membutuhkan syarat-syarat khusus. Menurut FX Beleng “kaseben ini kan hanya nyanyian, lagu dan pengantar dalam acara tertentu saja, bahkan sifatnya menjadi pelengkap dalam suatu acara tertentu agar acara atau kegiatan tersebut menjadi lebih meriah, lebih menyenangkan”.
Martinus Damamang membenarkan hal tersebut, menurut beliau kaseben bukanlah sesuatu yang magis, sesuatu yang haram, tetapi bukan juga sesuatu yang asal-asalan. Masih dari pandangan Martinus Damamang yang juga merupakan aktivis AMAN wilayah Ketapang ini, kaseben di jaman era modern ini menjadi bukan lagi hal yang sakral bagi masyarakat dayak, namun menurut beliau kaseben juga bukan hal yang menjadi nyanyian yang asal-asalan saja. Lanjut beliau “kaseben di era modern ini sudah seperti nyanyian biasa yang hanya di dengar dalam kegiatan atau acara tertentu dalam masyarakat Dayak Simpang, tetapi bukan artinya lalu mau sembarangan saja dalam mengucapkan kalimat-kalimat dalam kaseben”. Masih menurut bapak-bapak dengan kulit putih ini “setiap sesuatu dalam masyarakat dayak pasti ada makna lain, begitu juga dengan kaseben, meskipun menyanyikan tanpa syarat-syarat, namun tetap ada waktu atau momen yang tepat dalam menyanyikannya”. Berdasarkan pengetahuan beliau, kaseben ini palinng tidak bisa dinaynyikan atau dilagukan apabila ada acara atau ritual tertentu yang diikuti dengan pemanggilan arwah nenek moyang atau makhluk gaib yang kemudian untuk menghibur, membuat senang arwah-arwah tersebutlah maka beberapa orang tua menyanyikan kaseben. Dan tentu saja waktu dalam menyanyikan kaseben ini juga ada saat-saat atau momen-momen yang tepat dalam acara tersebut.
Menyanyikan kaseben merupakan suatu bentuk seberapa besar pengetahuan seseorang yang diaanggap tua dilingkungan tersebut. Menyanyikan kaseben sebenarnya merupakan suatu bentuk seberapa pintarnya seseorang dalam mengolah kata-kata biasa menjadi larik dalam nyanyian kaseben. Dalam menyanyikan kaseben tidak ada bahkan tidak memerlukan syarat-syarat khusus, hanya dalam menyanyikan ini memang harus sesuai dengan waktu dan keadaan yang tepat karena nyanyian ini masih berhubungan dengan roh nenek moyang atau jenis makhluk gaib lainnya. Dari pengetahuan Thomas Alexander, jika seseorang berani untuk menyanyikan kaseben berarti dia juga berani untuk menyatu dengan alam roh nenek moyang. “itu dulu,” pungkasnya. Lanjut lulusan Fisipol Universitas Tanjungpura ini, “sepengetahuan saya pada jaman dulu bila seseorang menyanyikan kaseben untuk mengiringi dukun dalam baliatn berarti dia siap-siap saja kehilangan raganya. Karena apa? Dalam baliatn inikan yang dipanggil roh arwah nenek moyang sedangkan menyanyikan kaseben ini berfungsi untuk menghibur mereka jadi sudah pasti orang yang menyanyikan kaseben tersebut akan pindah ke alam yang lain”. Lebih lanjut kata beliau, “pada era modern ini saya lihat jauh dari jaman dulu, sekarang ini menyanyikan kaseben bukan lagi hal yang memerlukan pengorbanan, paling-paling siap merasa malu saja karena pasti ada yang kalah dalam mengolah kata-kata tersebut”. Masih dari pandangan Thomas Alexander bahwa sekarang menyanyikan kaseben tidak seketat dulu, sekarang jika ada kegiatan seperti gawai, ngulu, pernikahan seseorang, naik dango, dan lain-lain maka kaseben sah-sah saja untuk dinyanyikan atau dilagukan, yang penting orang yang mendengarkan akan terhibur.
Kaseben sebuah budaya lokal masyarakat Simpang Dua memang beralih fungsi dari awalnya untuk menghibur makhluk-makhluk gaib atau roh-roh arwah nenek moyang sekarang dijadikan hiburan dalam masyarakat pada waktu acara-acara tertentu. Kata-kata dan bentuk nyanyian memang tidak terdapat perubahan yang mencolok, kata-kata dalam lirik kaseben tetap menggunakan bahasa Dayak Dalam, artinya bahasa yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Bahkan seiring dengan perkembangan waktu, kata-kata dalam lirik kaseben bisa saja dikembangkan oleh Si Penyanyi sesuai dengan kebutuhan (Djuweng, 2004: 9). Tidak berbeda dari pandangan Livinus Prianidi, bahwa menyanyikan kaseben tidak seerat jaman dulu. Menurut beliu, “kuncinya dalam menyanyikan kaseben ini yaitu adanya rangkaian kegiatan yang secara adat dianggap sah dan formal. Adapun beberapa acara atau kegiatan tersebut diantaranya naik dango, pernikahan adat, ngulu (beramai-ramai ke ladang) dan saya kira masih banyak lagi yang lainnya”. Lanjut guru pada sekolah swasta di Pontianak ini, “menyanyikan kaseben tadi memang hanya pada waktu-waktu tertentu saja, misal pada saat orang menikah, mengapa dimaksudkan demikian? Jadi begini, pada saat orang menikah khususnya nikah adat dalam masyarakat Dayak Simpang pasti ada musik daerah yang namanya Gong Gamal, nah pada saat mengalunkan Gong Gamal inilah terdapat beberapa orang tua yang secara bergiliran menyanyikan kaseben, biasanya berlawan dan siapa yang kalah akan meminum secawan arak yang sudah disiapkan di depan mereka masing-masing”.
Mulanya, kaseben merupakan suatu bentuk bahasa untuk berkomunikasi antara seseorang dukun (tabib) dengan makhluk halus. Dengan adanya komunikasi ini maka seseorang dukun tadi akan mengetahui penyakit, kesalahan yang mengakibatkan sakit, maupun untuk mengetahui syarat-syarat agar sakit sembuh. Dalam hal ini kaseben berguna sebagai bahasa komunikasi antara dukun dengan makhluk gaib yang dimiliki atau pun yang mengakibatkan seseorang sakit, kaseben merupakan wadah mediasi antara dukun dengan makhluk yang menyebabkan seseorang sakit. Dari pandangan FX. Beleng pada masa dulu, setiap dukun wajib tahu bahasa kaseben selain juga mengetahui mantra-mantra. Lanjut beliau yang merupakan dosen STKIP PGRI Pontianak ini asalnya kaseben dinyaynikan atau dilagukan oleh seseorang dukun, seseorang kepala adat, seseorang domong, untuk berkomunikasi dengan makhluk gaib tertentu. Livinus Prianidi juga memberikan informasi yang kurang lebih sama, beliau menambahkan mulanya kaseben erat kaitannya dengan komunikasi dengan alam, komunikasi dengan duata, ada juga yang menynyikan kaseben sebagai sarana komunikasi dengan makhluk gaib. Masih dari pandangan Livinus Prianidi, seiring dengan perkembangan jaman, kaseben tidak hanya menjadi wadah komunikasi antara manusia dengan makhluk gaib, namun lebih akrab dengan komunikasi antara manusia dengan manusia. Sedangkan komunikasi antara manusia dengan makhluk gaib lebih diutamakan dengan menggunakan mantra.
Martinus Damamang mengiyakan semua data dan informasi tersebut, tetapi beliau masih menambahkan beberapa informasi lagi. Dari kaca mata Martinus Damamang, menurut beliau “kata kakek saya dulu, kaseben ini sebenarnya merupakan nyanyian untuk membuat hantu (makhluk gaib) senang dan tidak menganggu manusia”. Lebih lanjut menurut beliau yang merupakan Ketua Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Simpang ini berujar, “setiap sore, di dukuh kami dulu kakek saya selalu menyanykan kaseben dengan harapan hantu (makhluk gaib) tidak menganggu kami sekeluarga pada saat akan beristirahat di malam harinya. Kaseben yang dinyanyikan oleh kakek waktu itu saya masih ingat yaitu berupa kata-kata bias, bahasa dalam, bahasa yang tentu saja berbeda dengan bahasa sehari-hari. Menurut kakek saya dulu, makna dari kata-kata itu adalah berbagai kata-kata pujian dan tanda memohon kepada hantu (makhluk gaib) sehingga hantu-hantu tersebut senang dan akhirnya tidak menggangu kami pada saat tidur di malam harinya”.
Lain lagi namun ada kesamaan menurut Thomas Alexander, kaseben asal mulanya memang untuk hantu, berkomunikasi dengan alam, makhluk gaib, duata, namun penekanan dari beliau bahwa kaseben ini mulanya berupa nyanyian yang asalnya manusia dapatkan dari kicauan seekor burung yang dalam bahasa kampungnya burung Ciokng. Lanjutnya, burung ini merupakan seekor burung terutama yang jantan sering menyanyikan suara yang merdu-merdu untuk menarik perhatian burung betina pada saat musim kawin. Menurut beliau dari nyanyian inilah manusia mulai meniru sehingga terciptalah kaseben ini. Setelah melalui perkembangan jaman, nyanyian ini pun semakin populer di kalangan masyarakat dayak pada masa itu (jaman dulu), masih menurut Thomas Alexander, setiap sub-suku dayak sebenarnya ada yang berjenis kaseben ini (Bahasa Dayak Simpang –red) namun setiap sub-suku tersebut tentu saja berbeda dalam hal penyebutan kata-kata, dan penamaan.

Dari sekian banyak infomasi dan data yang ada, dapat dikatakan bahwa sebuah kaseben awal mulanya merupakan nyanyian yang diciptakan dengan meniru suara nyanyian dari seekor burung, stelah mengalamai perkembangan waktu, kaseben menjadi sarana komunikasi antara manusia dengan makhluk gaib, bahkan juga sarana komunikasi antara manusia dengan duata (Tuhan-red). Kaseben merupakan sebuah sarana mediasi antara manusia dengan makhluk gaib khususnya agar tidak mengganggu kehiudpan manusia. Dapat dikatakan pula dengan adanya kaseben ini diharapkan tetap terjadi suatu hubungan yang harmonis antara manusia dengan makhluk lainnya. Jika manusia mengganggu maka akan terjadi lah yang namanya sampar dan masih banyak lagi hukuman yang diberikan oleh makhluk gaib itu, entah berupa sakit, dan bencana. Dengan adanya kaseben inilah melalui perantara seorang domong (kepala adat) diharapkan jika manusia telah menggangu makhluk gaib maka manusia wajib untuk meminta maaf dengan menyanyikan lagu kaseben disamping juga mengucapkan mantra dan memberikan sesajian lainnya.
Bahasa kaseben merupakan bahasa yang tidak sembarangan diucapkan. Kaseben ini sebenarnya pada jaman dulu merupakan sebuah nyanyian yang digunakan untuk menghibur para makhluk gaib yang dipanggil oleh dukun dalam upacara-upacara tertentu. Upacara yang dimaksud bisa saja berupa Naik Dango, Pernikahan, Baliatn dan masih banyak lagi yang lainnya. Kaseben sebenarnya merupakan alat komunikasi antara manusia dengan makhluk gaib. Menurut F.X Beleng semakin majunya dan semakin modernnya kehidupan manusia, lantas kaseben pun beralih fungsi menjadi sarana komunikasi antara manusia satu dengan manusia lainnya dengan maksud untuk mengukur kepintaran seseorang. Sehingga di era modern ini, kaseben menjadi tolak ukur kepintaran dan kecakapan orang-orang tua dalam mengucapkan dan menyanyikan kaseben. Kaseben menjadi dinyanyikan secara balas-membalas, dalam artian kurang lebih seperti berbalas pantun. Tetapi tetap menggunakan bahasa Dayak Dalam dan harus dalam acara-acara tertentu.
Setelah memasuki era modern, kebudayaan dayak yang unik ini pun mulai ditinggalkan oleh kaum mudanya. Masyarakat Dayak Simpang, khususnya kaum muda lebih menyenangi musik-musik modern. Meskipun pada kenyataanya musik modern itu tidak terlalu menarik bagi sebagian masyarakat, tetapi mereka tetap memilih dan menyukai musik modern dari pada nyanyian daerah seperti misalnya kaseben ini.

“Kaum muda seolah-olah tidak memahami bahwa budaya lokal itu penting untuk dipertahankan”, tutur FX Beleng dengan raut muka yang berbeda. Lanjut beliau “yang muda seakan-akan malu untuk mempertahankan kearifan lokal dari budaya mereka sendiri, seperti kaseben ini. Entah sampai kapan nyanyian ini akan bertahan”. Memang dari beberapa fakta di kampung, khususnya Simpang Dua, kaseben ini seolah-olah hanya menjadi nyanyian bagi orang-orang tua. Kaseben seperti kehilangan penggemarnya. Para kaum muda lebih menyukai lagu-lagu populer dari band-band seperti ST 12, Radja, dan masih banyak band-band lainnya.
Ini dibenarkan juga oleh Livinus Prianidi yang merupakan ketua masyarakat Simpang di Pontianak. Menurut beliau orang-orang dayak terutama kaum mudanya sudah mulai kehilangan jati diri untuk mencintai budaya sendiri. “saya ambil masyarakat simpang contohnya, kaum muda lebih cenderung untuk mendengarkan musik-musik modern, bahkan beberapa dari mereka lebih menyukai lagu-lagu dengan bahasa asing seperti bahasa Inggris dan bahasa India”. Setelah begitu banyaknya lagu-lagu asing yang masuk ke dalam masyarakat Dayak Simpang, kaum muda seloah-olah terbius oleh lagu-lagu tersebut dan perlahan tetapi pasti mulai merlupakan nyanyian lokal seperti kaseben ini. Kaum muda lebih suka untuk mendengar lagu-lagu seperti “setia dari zivilia, lagu-lagu grup band Ungu, dan lagu-lagu lainnya”. Bahkan banyakdari kaum muda Dayak Simpang yang lebih senang dengan lagu-lagu barat, seperi lagu-lagu dari MLTR, lagu-lagu Westlife, lagu-lagu GNR. Menurut Martinus Damamang, “kaum muda Dayak Simpang seperti malu untuk mendengar kaseben dan lagu lokal lainnya. Mereka tidak mau dibilang kolot, ketinggalan jaman oleh teman-temannya”, terang bapak yang merupakan kaum intelek masyarakat Dayak Simpang ini. Meskipun dari beberapa informasi bahwa kaseben mulai ditinggalkan kaum muda, namun dari pandangan beberapa kaum intelek masyrakata Dayak Simpang bahwa tidak boleh hanya menyalahkan satu pihak saja. Artinya banyak faktor yang menyebabkan kaseben ini tidak disenangi oleh kaum muda.
Menurut Thomas Alexander bukan hanya kaum muda yang perlu untuk dipersalahkan, tetapi mari kita lihat hakikat dan dasar dari kaseben itu sendiri. Ujar beliau “kaseben ini kan aslinya bahasa komunikasi dengan makhluk gaib, bahasa yang digunakan juga merupakan bahasa dayak dalam, jadi yang mengerti tentu saja orang-orang tua sedangkan kaum mudanya tidak, jadi menurrut saya itulah yang menjadi tidak menariknya kaseben ini karena hanya kaum tua yang bisa mengerti sedangkan kaum muda tidak”. Lanjut politisi dari PDI Perjuangan ini, “memang dasarnya kaseben ini untuk orang tua saja kok, yang memiliki pengetahuan tentang makhkluk gaibkan hanya mereka-mereka ini sedangkan yang muda tidak, kaum muda akan mempelajari pengetahuan mendalam dalam artian belajar tentu pada saat dia sudah tua juga, sehinga ia juga akan mengetahui bahasa pada nyanyian kaseben pada saat ia sudah tua karena seiring dengan belajar pengetahuan yang berhubunagn dengan makhluk gaib tadi”.
Sebanding dengan kebudayaan daerah lainnya, kaseben juga diambang kepunahan. Martinus Damamakng (45) mengungkapkan “sangat disayangkan generasi muda dayak tidak begitu tertarik dengan kaseben, karena dianggap nyanyian kuno dan ketinggalan jaman”. Lanjut beliau lambat laun kaseben ini jika tidak dilestarikan akan turut punah seiring dengan meninggalnya orang-orang tua yang tahu menyanyikan kaseben. Dari segi yang tahu akan kaseben, memang sangat logis jika kaseben akan punah. Dikatakan demikian karena para kaum muda dayak, khususnya Dayak Simpang tidak begitu tertarik mempelajari kaseben. Akibatnya, sangat minim masyarakat Dayak Simpang yang tahu untuk menyanyikan kaseben ini. Martinus Damamang membenarkan bahwa di lapangan sangat minim masyarakat yang tahu menyanyikan kaseben. Dari pandangan beliau yang merupakan Pengurus Yayasan Pancur Kasih Pontianak kepunahan suatu budaya umumnya dikarenakan semakin lunturnya rasa mencintai dan menyayangi budaya tersebut. Masih menurut beliau, kaum muda dayak harus mencintai budaya yang ada sehingga tertarik untuk mempelajari budaya itu. Beliau mengambil contoh, kaseben, bisa untuk diantisipasi kepunahannya dengan mempelajari kaseben dan mencintai kaseben, sehingga timbul keinginan untuk melestarikan kaseben.

KASEBEN

KASEBEN
(Tradisi Lisan Dayak Simpakng)


Peta Kabupaten Ketapang
Banua Simpang adalah istilah lokal yang dipakai oleh suku Dayak Simpang untuk menyebut satu-kesatuan-geo-politik wilayah pemukiman mereka. Dalam konteks pembagian wilayah administratif, Banua Simpang meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Simpang Hulu dan Simpang Dua Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat. Kawasan ini terletak diantara 1200 1.44 – 1200 21. 51 BT dan 60 46- 70 43. 58 LS (Institut Dayakologi, 2003: 1). Dari segi bahasa, terdapat tiga bahasa yang dituturkan oleh masyarakat Dayak Simpang. Pertama bahasa Baram, kedua bahasa Gore, dan ketiga bahasa Baya. Penduduk asli Kecamatan Simpang Dua adalah Suku Dayak dengan sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani karet dan berladang. Sedangkan suku-suku pendatang lainnya adalah Suku China (+7 %), Suku Jawa (+ 5%), Suku Papua (+3%). Sebagian besar suku pendatang tersebut adalah sebagai pedagang. Mulai dari pedagang sayur, pakaian sampai ada yang membuka mini market.
Masyarakat Dayak Simpang seperti masyarakat dayak lainnya yang mendiami Pulau Kalimantan merupakan sebuah etnik yang banyak sekali memiliki kebudayaan yang sangat menarik. Satu diantara budaya itu berupa sastra lisan. Sastra lisan merupakan karya sastra yang hanya dapat dinikmati melalui pendengaran. Sastra lisan tersebut masih banyak lagi ragamnya, yaitu cerita daerah, nyanyian lokal, dan masih banyak lagi jenis sastra lisan lainnya. Selanjutnya yang perlu untuk diperhatikan yaitu sastra lisan berupa nyanyian lokal. Mengapa demikian? Ini merupakan suatu langkah nyata dalam mengantisipasi kepunahan dari sastra lisan umumnya dan nyanyian lokal pada khususnya.
Gambar: dalam acara pernikahan adat, kaseben sering dinyanyikan oleh tetua-tetua adat.

Jalan Trans Kalimantan adalah diantara akses menuju Simpang Dua
Nyanyian lokal merupakan sastra lisan yang sangat menarik karena memiliki keunikan tersendiri yaitu dapat menghibur. Kaseben merupakan satu diantara nyanyian lokal tersebut. Kaseben merupakan lagu rakyat yang dituturkan dalam bahasa sastra yang tinggi (bahasa dalam) yang hanya dinyanyikan pada saat acara atau kegiatan tertentu. Kaseben biasanya dinyanyikan pada saat kegiatan yang bahagia, seperti acara pernikahan. Bahasa yang digunakan dalam keseben biasanya hanya dimengerti oleh orang-orang tertentu saja, sedangkan masyarakat biasa hanya bisa mendengar. Menurut F.X Beleng (53) yang merupakan Ketua Ketumanggongan (Ketua Adat) Dayak Simpang di Pontianak menjelaskan kaseben umumnya dinyanyikan atau dilagukan oleh orang-orang tua yang menghandiri suatu upacara tertentu. Selanjutnya menurut beliau tidak sembarangan orang-orang tua yang mengetahui untuk menyanyikan kaseben ini, tetapi hanya orang-orang tertentu saja. Saat ditanya apakah anda bisa menyanyikan kaseben, beliau hanya tertawa dan senyum-senyum saja.
“Saya bukannya tidak bisa, tetapi waktunya yang kurang tepat ungkapnya”. Mengenai waktu menyanyikan kaseben ini F.X Beleng yang merupakan dosen STKIP PGRI Pontianak mengungkapkan bahwa kaseben hanya bisa dinyanyikan pada saat-saat tertentu saja, ini karena berhubungan dengan makhluk halus atau roh arwah nenek moyang yang hadir pada saat tertentu tersebut. Ini sebenarnya merupakan nyanyian untuk makhluk halus dalam upacara adat tertentu, tetapi setelah mengalami perkembangan jaman kaseben dinyanyikan juga untuk menghibur manusia. Tetapi tetap harus dalam acara-acara tertentu saja. Livinus Prianidi membenarkan semua informasi tersebut. Beliau merupakan Ketua Masyarakat Simpang di Kota Pontianak. Menurut beliau kaseben ini bisa juga dilantunkan dengan musik-musik seperti gong gamal, ketawak, maupun sape.
Kaseben merupakan sebuah nyanyian yang dilagukan pada saat acara-acara tertentu yang diselenggarakan oleh masyarakat Suku Dayak yang mendiami daerah Simpang Dua Kabupaten Ketapang. Menurut FX. Beleng (52), kaseben ini nyanyian yang unik karena menggunakan bahasa dayak yang khas yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Lebih lanjut menurut beliau kaseben ini merupakan suatu budaya lisan khas dayak di Simpang Dua. Sama juga halnya dengan Martinus D. Ipoh (48) mengatakan kaseben sebenarnya merupakan nyanyian suci yang dilagukan oleh tua-tua adat pada saat acara atau upacara-upacara tertentu yang terdapat di Kecamatan Simpang Dua. Bahkan menurut beliau, sebenarnya pada masyarakat dayak lainnya juga terdapat kaseben, namun hanya penamaan saja yang berbeda disesuaikan dengan bahasa dayak yang bersangkutan. Sedangkan menurut Thomas Alexander (42) beliau berkata “berdasarkan pengetahuan saya selama hidup kurang lebih 15 tahun di kampung, jaman dulu orang-orang tua sering menyanyikan kaseben pada saat acara pernikahan dan acara-acara lainnya dimana orang tua yang satu menyindir orang tua yang lainnya dengan menggunakan kaseben ini”. Lanjut beliau yang merupakan anggota DPR Kalbar ini, “ selanjutnya orang tua yang lain akan membalas sindirian orang tua tadi dengan kaseben juga, intinya kaseben merupakan nyanyian yang digunakan untuk menyindir, mengolok dan membuat suasana menjadi riang gembira dengan menggunakan bahasa dayak yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Siapa yang tidak bisa membalas sahutan kaseben maka dianggap kalah”, ujar politisi dari Partai PDI Perjuangan ini.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa kaseben merupakan suatu budaya berupa nyanyian lisan suku dayak di daerah Simpang Dua dan sekitarnya yang dinyanyikan atau dilagukan pada saat acara-acara tertentu dengan menggunakan bahasa yang dalam yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Kaseben digunakan untuk membuat acara menjadi lebih meriah, menyindir lawan bicara, membuat lelucon dengan kata-kata yang berbeda tadi. Kaseben juga disebut sebagai nyanyian suci karena berhubungan dengan makhluk gaib.
Kaseben nyanyian boretn
Lebih lanjutnya Bapak Livinus Prianidi yang merupakan guru di sebuah sekolah swasta di Pontianak mengungkapkan, kaseben ini bisa dikatakan nyanyian yang sangat menarik dan enak untuk didengar, terkadang kita akan tertawa sendiri mendengar orang-orang yang menyanyikan kaseben. Baik F. X Beleng maupun Livinus Prianidi menolak untuk menyanyikan kaseben. Yang jelas menurut mereka bahasa dalam nyanyian kaseben merupakan bahasa yang sulit untuk dimengerti oleh orang lain. Bahasa yang terdapat dalam kaseben merupakan bahasa Dayak Dalam, mengapa demikian? Bahasa Dayak Dalam merupakan sebuah sarana komunikasi antara manusia dengan makhluk gaib sehingga bahasa ini hanya dimengerti oleh manusia tertentu saja.
Kaseben merupakan tradisi lisan masyarakat Dayak Simpang yang dinyanyikan atau dilagukan oleh beberapa orang tua yang dianggap memeilki spritual lebih mengenai hal-hal gaib. Mereka kemudian dianggap memeiliki kekuatan supranatural yang tentu saja berbeda dengan masyarakat biasa pada umumnya. Dalam menyanyikan kaseben sebenarnya tidaklah terlalu rumit , tidak membutuhkan syarat-syarat khusus. Menurut FX Beleng “kaseben ini kan hanya nyanyian, lagu dan pengantar dalam acara tertentu saja, bahkan sifatnya menjadi pelengkap dalam suatu acara tertentu agar acara atau kegiatan tersebut menjadi lebih meriah, lebih menyenangkan”.
Martinus Damamang membenarkan hal tersebut, menurut beliau kaseben bukanlah sesuatu yang magis, sesuatu yang haram, tetapi bukan juga sesuatu yang asal-asalan. Masih dari pandangan Martinus Damamang yang juga merupakan aktivis AMAN wilayah Ketapang ini, kaseben di jaman era modern ini menjadi bukan lagi hal yang sakral bagi masyarakat dayak, namun menurut beliau kaseben juga bukan hal yang menjadi nyanyian yang asal-asalan saja. Lanjut beliau “kaseben di era modern ini sudah seperti nyanyian biasa yang hanya di dengar dalam kegiatan atau acara tertentu dalam masyarakat Dayak Simpang, tetapi bukan artinya lalu mau sembarangan saja dalam mengucapkan kalimat-kalimat dalam kaseben”. Masih menurut bapak-bapak dengan kulit putih ini “setiap sesuatu dalam masyarakat dayak pasti ada makna lain, begitu juga dengan kaseben, meskipun menyanyikan tanpa syarat-syarat, namun tetap ada waktu atau momen yang tepat dalam menyanyikannya”. Berdasarkan pengetahuan beliau, kaseben ini palinng tidak bisa dinaynyikan atau dilagukan apabila ada acara atau ritual tertentu yang diikuti dengan pemanggilan arwah nenek moyang atau makhluk gaib yang kemudian untuk menghibur, membuat senang arwah-arwah tersebutlah maka beberapa orang tua menyanyikan kaseben. Dan tentu saja waktu dalam menyanyikan kaseben ini juga ada saat-saat atau momen-momen yang tepat dalam acara tersebut.
Menyanyikan kaseben merupakan suatu bentuk seberapa besar pengetahuan seseorang yang diaanggap tua dilingkungan tersebut. Menyanyikan kaseben sebenarnya merupakan suatu bentuk seberapa pintarnya seseorang dalam mengolah kata-kata biasa menjadi larik dalam nyanyian kaseben. Dalam menyanyikan kaseben tidak ada bahkan tidak memerlukan syarat-syarat khusus, hanya dalam menyanyikan ini memang harus sesuai dengan waktu dan keadaan yang tepat karena nyanyian ini masih berhubungan dengan roh nenek moyang atau jenis makhluk gaib lainnya. Dari pengetahuan Thomas Alexander, jika seseorang berani untuk menyanyikan kaseben berarti dia juga berani untuk menyatu dengan alam roh nenek moyang. “itu dulu,” pungkasnya. Lanjut lulusan Fisipol Universitas Tanjungpura ini, “sepengetahuan saya pada jaman dulu bila seseorang menyanyikan kaseben untuk mengiringi dukun dalam baliatn berarti dia siap-siap saja kehilangan raganya. Karena apa? Dalam baliatn inikan yang dipanggil roh arwah nenek moyang sedangkan menyanyikan kaseben ini berfungsi untuk menghibur mereka jadi sudah pasti orang yang menyanyikan kaseben tersebut akan pindah ke alam yang lain”. Lebih lanjut kata beliau, “pada era modern ini saya lihat jauh dari jaman dulu, sekarang ini menyanyikan kaseben bukan lagi hal yang memerlukan pengorbanan, paling-paling siap merasa malu saja karena pasti ada yang kalah dalam mengolah kata-kata tersebut”. Masih dari pandangan Thomas Alexander bahwa sekarang menyanyikan kaseben tidak seketat dulu, sekarang jika ada kegiatan seperti gawai, ngulu, pernikahan seseorang, naik dango, dan lain-lain maka kaseben sah-sah saja untuk dinyanyikan atau dilagukan, yang penting orang yang mendengarkan akan terhibur.
Kaseben sebuah budaya lokal masyarakat Simpang Dua memang beralih fungsi dari awalnya untuk menghibur makhluk-makhluk gaib atau roh-roh arwah nenek moyang sekarang dijadikan hiburan dalam masyarakat pada waktu acara-acara tertentu. Kata-kata dan bentuk nyanyian memang tidak terdapat perubahan yang mencolok, kata-kata dalam lirik kaseben tetap menggunakan bahasa Dayak Dalam, artinya bahasa yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Bahkan seiring dengan perkembangan waktu, kata-kata dalam lirik kaseben bisa saja dikembangkan oleh Si Penyanyi sesuai dengan kebutuhan (Djuweng, 2004: 9). Tidak berbeda dari pandangan Livinus Prianidi, bahwa menyanyikan kaseben tidak seerat jaman dulu. Menurut beliu, “kuncinya dalam menyanyikan kaseben ini yaitu adanya rangkaian kegiatan yang secara adat dianggap sah dan formal. Adapun beberapa acara atau kegiatan tersebut diantaranya naik dango, pernikahan adat, ngulu (beramai-ramai ke ladang) dan saya kira masih banyak lagi yang lainnya”. Lanjut guru pada sekolah swasta di Pontianak ini, “menyanyikan kaseben tadi memang hanya pada waktu-waktu tertentu saja, misal pada saat orang menikah, mengapa dimaksudkan demikian? Jadi begini, pada saat orang menikah khususnya nikah adat dalam masyarakat Dayak Simpang pasti ada musik daerah yang namanya Gong Gamal, nah pada saat mengalunkan Gong Gamal inilah terdapat beberapa orang tua yang secara bergiliran menyanyikan kaseben, biasanya berlawan dan siapa yang kalah akan meminum secawan arak yang sudah disiapkan di depan mereka masing-masing”.
Mulanya, kaseben merupakan suatu bentuk bahasa untuk berkomunikasi antara seseorang dukun (tabib) dengan makhluk halus. Dengan adanya komunikasi ini maka seseorang dukun tadi akan mengetahui penyakit, kesalahan yang mengakibatkan sakit, maupun untuk mengetahui syarat-syarat agar sakit sembuh. Dalam hal ini kaseben berguna sebagai bahasa komunikasi antara dukun dengan makhluk gaib yang dimiliki atau pun yang mengakibatkan seseorang sakit, kaseben merupakan wadah mediasi antara dukun dengan makhluk yang menyebabkan seseorang sakit. Dari pandangan FX. Beleng pada masa dulu, setiap dukun wajib tahu bahasa kaseben selain juga mengetahui mantra-mantra. Lanjut beliau yang merupakan dosen STKIP PGRI Pontianak ini asalnya kaseben dinyaynikan atau dilagukan oleh seseorang dukun, seseorang kepala adat, seseorang domong, untuk berkomunikasi dengan makhluk gaib tertentu. Livinus Prianidi juga memberikan informasi yang kurang lebih sama, beliau menambahkan mulanya kaseben erat kaitannya dengan komunikasi dengan alam, komunikasi dengan duata, ada juga yang menynyikan kaseben sebagai sarana komunikasi dengan makhluk gaib. Masih dari pandangan Livinus Prianidi, seiring dengan perkembangan jaman, kaseben tidak hanya menjadi wadah komunikasi antara manusia dengan makhluk gaib, namun lebih akrab dengan komunikasi antara manusia dengan manusia. Sedangkan komunikasi antara manusia dengan makhluk gaib lebih diutamakan dengan menggunakan mantra.
Martinus Damamang mengiyakan semua data dan informasi tersebut, tetapi beliau masih menambahkan beberapa informasi lagi. Dari kaca mata Martinus Damamang, menurut beliau “kata kakek saya dulu, kaseben ini sebenarnya merupakan nyanyian untuk membuat hantu (makhluk gaib) senang dan tidak menganggu manusia”. Lebih lanjut menurut beliau yang merupakan Ketua Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Simpang ini berujar, “setiap sore, di dukuh kami dulu kakek saya selalu menyanykan kaseben dengan harapan hantu (makhluk gaib) tidak menganggu kami sekeluarga pada saat akan beristirahat di malam harinya. Kaseben yang dinyanyikan oleh kakek waktu itu saya masih ingat yaitu berupa kata-kata bias, bahasa dalam, bahasa yang tentu saja berbeda dengan bahasa sehari-hari. Menurut kakek saya dulu, makna dari kata-kata itu adalah berbagai kata-kata pujian dan tanda memohon kepada hantu (makhluk gaib) sehingga hantu-hantu tersebut senang dan akhirnya tidak menggangu kami pada saat tidur di malam harinya”.
Lain lagi namun ada kesamaan menurut Thomas Alexander, kaseben asal mulanya memang untuk hantu, berkomunikasi dengan alam, makhluk gaib, duata, namun penekanan dari beliau bahwa kaseben ini mulanya berupa nyanyian yang asalnya manusia dapatkan dari kicauan seekor burung yang dalam bahasa kampungnya burung Ciokng. Lanjutnya, burung ini merupakan seekor burung terutama yang jantan sering menyanyikan suara yang merdu-merdu untuk menarik perhatian burung betina pada saat musim kawin. Menurut beliau dari nyanyian inilah manusia mulai meniru sehingga terciptalah kaseben ini. Setelah melalui perkembangan jaman, nyanyian ini pun semakin populer di kalangan masyarakat dayak pada masa itu (jaman dulu), masih menurut Thomas Alexander, setiap sub-suku dayak sebenarnya ada yang berjenis kaseben ini (Bahasa Dayak Simpang –red) namun setiap sub-suku tersebut tentu saja berbeda dalam hal penyebutan kata-kata, dan penamaan.

Rayah boretn Dayak Simpakng
Dari sekian banyak infomasi dan data yang ada, dapat dikatakan bahwa sebuah kaseben awal mulanya merupakan nyanyian yang diciptakan dengan meniru suara nyanyian dari seekor burung, stelah mengalamai perkembangan waktu, kaseben menjadi sarana komunikasi antara manusia dengan makhluk gaib, bahkan juga sarana komunikasi antara manusia dengan duata (Tuhan-red). Kaseben merupakan sebuah sarana mediasi antara manusia dengan makhluk gaib khususnya agar tidak mengganggu kehiudpan manusia. Dapat dikatakan pula dengan adanya kaseben ini diharapkan tetap terjadi suatu hubungan yang harmonis antara manusia dengan makhluk lainnya. Jika manusia mengganggu maka akan terjadi lah yang namanya sampar dan masih banyak lagi hukuman yang diberikan oleh makhluk gaib itu, entah berupa sakit, dan bencana. Dengan adanya kaseben inilah melalui perantara seorang domong (kepala adat) diharapkan jika manusia telah menggangu makhluk gaib maka manusia wajib untuk meminta maaf dengan menyanyikan lagu kaseben disamping juga mengucapkan mantra dan memberikan sesajian lainnya.
Bahasa kaseben merupakan bahasa yang tidak sembarangan diucapkan. Kaseben ini sebenarnya pada jaman dulu merupakan sebuah nyanyian yang digunakan untuk menghibur para makhluk gaib yang dipanggil oleh dukun dalam upacara-upacara tertentu. Upacara yang dimaksud bisa saja berupa Naik Dango, Pernikahan, Baliatn dan masih banyak lagi yang lainnya. Kaseben sebenarnya merupakan alat komunikasi antara manusia dengan makhluk gaib. Menurut F.X Beleng semakin majunya dan semakin modernnya kehidupan manusia, lantas kaseben pun beralih fungsi menjadi sarana komunikasi antara manusia satu dengan manusia lainnya dengan maksud untuk mengukur kepintaran seseorang. Sehingga di era modern ini, kaseben menjadi tolak ukur kepintaran dan kecakapan orang-orang tua dalam mengucapkan dan menyanyikan kaseben. Kaseben menjadi dinyanyikan secara balas-membalas, dalam artian kurang lebih seperti berbalas pantun. Tetapi tetap menggunakan bahasa Dayak Dalam dan harus dalam acara-acara tertentu.
Setelah memasuki era modern, kebudayaan dayak yang unik ini pun mulai ditinggalkan oleh kaum mudanya. Masyarakat Dayak Simpang, khususnya kaum muda lebih menyenangi musik-musik modern. Meskipun pada kenyataanya musik modern itu tidak terlalu menarik bagi sebagian masyarakat, tetapi mereka tetap memilih dan menyukai musik modern dari pada nyanyian daerah seperti misalnya kaseben ini.

“Kaum muda seolah-olah tidak memahami bahwa budaya lokal itu penting untuk dipertahankan”, tutur FX Beleng dengan raut muka yang berbeda. Lanjut beliau “yang muda seakan-akan malu untuk mempertahankan kearifan lokal dari budaya mereka sendiri, seperti kaseben ini. Entah sampai kapan nyanyian ini akan bertahan”. Memang dari beberapa fakta di kampung, khususnya Simpang Dua, kaseben ini seolah-olah hanya menjadi nyanyian bagi orang-orang tua. Kaseben seperti kehilangan penggemarnya. Para kaum muda lebih menyukai lagu-lagu populer dari band-band seperti ST 12, Radja, dan masih banyak band-band lainnya.
Ini dibenarkan juga oleh Livinus Prianidi yang merupakan ketua masyarakat Simpang di Pontianak. Menurut beliau orang-orang dayak terutama kaum mudanya sudah mulai kehilangan jati diri untuk mencintai budaya sendiri. “saya ambil masyarakat simpang contohnya, kaum muda lebih cenderung untuk mendengarkan musik-musik modern, bahkan beberapa dari mereka lebih menyukai lagu-lagu dengan bahasa asing seperti bahasa Inggris dan bahasa India”. Setelah begitu banyaknya lagu-lagu asing yang masuk ke dalam masyarakat Dayak Simpang, kaum muda seloah-olah terbius oleh lagu-lagu tersebut dan perlahan tetapi pasti mulai merlupakan nyanyian lokal seperti kaseben ini. Kaum muda lebih suka untuk mendengar lagu-lagu seperti “setia dari zivilia, lagu-lagu grup band Ungu, dan lagu-lagu lainnya”. Bahkan banyakdari kaum muda Dayak Simpang yang lebih senang dengan lagu-lagu barat, seperi lagu-lagu dari MLTR, lagu-lagu Westlife, lagu-lagu GNR. Menurut Martinus Damamang, “kaum muda Dayak Simpang seperti malu untuk mendengar kaseben dan lagu lokal lainnya. Mereka tidak mau dibilang kolot, ketinggalan jaman oleh teman-temannya”, terang bapak yang merupakan kaum intelek masyarakat Dayak Simpang ini. Meskipun dari beberapa informasi bahwa kaseben mulai ditinggalkan kaum muda, namun dari pandangan beberapa kaum intelek masyrakata Dayak Simpang bahwa tidak boleh hanya menyalahkan satu pihak saja. Artinya banyak faktor yang menyebabkan kaseben ini tidak disenangi oleh kaum muda.
Menurut Thomas Alexander bukan hanya kaum muda yang perlu untuk dipersalahkan, tetapi mari kita lihat hakikat dan dasar dari kaseben itu sendiri. Ujar beliau “kaseben ini kan aslinya bahasa komunikasi dengan makhluk gaib, bahasa yang digunakan juga merupakan bahasa dayak dalam, jadi yang mengerti tentu saja orang-orang tua sedangkan kaum mudanya tidak, jadi menurrut saya itulah yang menjadi tidak menariknya kaseben ini karena hanya kaum tua yang bisa mengerti sedangkan kaum muda tidak”. Lanjut politisi dari PDI Perjuangan ini, “memang dasarnya kaseben ini untuk orang tua saja kok, yang memiliki pengetahuan tentang makhkluk gaibkan hanya mereka-mereka ini sedangkan yang muda tidak, kaum muda akan mempelajari pengetahuan mendalam dalam artian belajar tentu pada saat dia sudah tua juga, sehinga ia juga akan mengetahui bahasa pada nyanyian kaseben pada saat ia sudah tua karena seiring dengan belajar pengetahuan yang berhubunagn dengan makhluk gaib tadi”.
Martinus Damamang, satu di antara tokoh masyarakat Dayak Simpakng
Sebanding dengan kebudayaan daerah lainnya, kaseben juga diambang kepunahan. Martinus Damamakng (45) mengungkapkan “sangat disayangkan generasi muda dayak tidak begitu tertarik dengan kaseben, karena dianggap nyanyian kuno dan ketinggalan jaman”. Lanjut beliau lambat laun kaseben ini jika tidak dilestarikan akan turut punah seiring dengan meninggalnya orang-orang tua yang tahu menyanyikan kaseben. Dari segi yang tahu akan kaseben, memang sangat logis jika kaseben akan punah. Dikatakan demikian karena para kaum muda dayak, khususnya Dayak Simpang tidak begitu tertarik mempelajari kaseben. Akibatnya, sangat minim masyarakat Dayak Simpang yang tahu untuk menyanyikan kaseben ini. Martinus Damamang membenarkan bahwa di lapangan sangat minim masyarakat yang tahu menyanyikan kaseben. Dari pandangan beliau yang merupakan Pengurus Yayasan Pancur Kasih Pontianak kepunahan suatu budaya umumnya dikarenakan semakin lunturnya rasa mencintai dan menyayangi budaya tersebut. Masih menurut beliau, kaum muda dayak harus mencintai budaya yang ada sehingga tertarik untuk mempelajari budaya itu. Beliau mengambil contoh, kaseben, bisa untuk diantisipasi kepunahannya dengan mempelajari kaseben dan mencintai kaseben, sehingga timbul keinginan untuk melestarikan kaseben.