Senin, 12 November 2012

CERITA PAK ALUI MEMASANG JERAT


PAK ALUI MEMASANG JERAT

Suatu hari Pak Alui pergi memasang jerat, beberapa hari kemudian Pak Alui melihat jeratnya dan dapat seekor Pelanduk. Ia pun menyuruh Si Pelanduk untuk pulang duluan dengan membawa penambin yang diikat di tanduk Pelanduk tersebu. Tentu saja setelah beberapa lama dilepaskan Pelanduk tersebut lari dengan kencang ke dalam hutan, namun Pak Alui menyangka Pelanduk sangat semangat untuk menuju ke rumah Pak Alui untuk di masak oleh istrinya. Mak Alui marah karena Pak Alui melepas Pelanduk, ia menyarankan Pak Alui agar di pukul sampai Pelanduk mati.
Beberapa hari kemudian Pak Alui kembali melihat jeratnya, kali ini penuh dengan jamur yang enak jika di masak. Dan Pak Alui pun langsung memasuk jamur tersebut ke dalam karung  dan memukul berkali-kali hingga jamur tersebut hancur dan luluh. Sampai ke rumah Mak Alui kembali memarah Pak Alui, ia menyarankan agar sebaiknya di ambil satu-satu lalu di masukkan ke dalam penambin kemudian di bawa ke rumah untuk di masak.
Selang hari berikutnya Pak Alui kembali melihat jeratnya lagi, kali ini telah ada sarang lebah pada jeratnya. Ia pun langsung mengambil satu per satu Lebah tersebut, tentu saja lebah tersebut menyengat. Namun Pak Alui tetap saja mengambil lebah-lebah itu sambil bergumam “aneh jamur kok bisa menyengat!”. Sampai ke rumah Mak Alui kembali marah, ia kemudian menyarankan jika kemudian ditakuti dengan api agar Lebah meninggalkan sarangnya dan diambil madunya.
Hari berikutnya Pak Alui kembali melihat jeratnya,  kali ini dapat seekor rusa yang sangat besar. Tetapi Pak Alui malah membakar rusa tersebut dan memeras susu-susu Si Rusa. Karena tali penjerat sudah terbakar oleh api maka Si Rusa tersebut lari tunggang langgang ke dalam hutan. Sampai ke rumah, Mak Alui kembali marah. Ia menyarankan agar sebaiknya di tombak lalu di bunuh dan daging-dagingnya di bawa ke rumah untuk di masak.
Hari berikutnya Pak Alui datang lagi ke jeratnya tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Ketika pulang anjing-anjing Pak Alui menggonggong, Pak Alui pun langsung mengejar asal suara gonggongan tersebut. Ternyata anjing tersebut menggonggong ibu mertuanya yang sedang mengambil terung di ladang. Tanpa piki r panjang lagi Pak Alui langsung menghujamkan tombakny ke arah ibu mertuanya tersebut, lalu meninggallah dia. Pak Alui lalu membawa daging tersebut ke rumah dan di masak. Ketika makan, Pak Alui menceritakan daging yang mereka makan tersebut. Mak Alui pun marah, ia mengatakan bahwa itu adalah ibunya yang sedang mengambil terung ke ladang. Ia pun menangis dan mengatakan kuburkan lah daging ini karena ini adalah daging ibu.
            Setelah beberapa hari menguburkan ibunya, hari itu Mak Alui menyuruh Pak Alui agar melihat kuburan ibunya sekalian memberikan nasi seadanya ke kuburan tersebut. Pak Alui pun pergilah ke kuburan tadi. Sampai di sana tepat di dekat kuburan sudah berdiri seekor macan. Pak Alui bukan takut atau lari tetapi malah mendekati macan dan memberikan nasi yang dibawanya karena ia menyangka mertuanya telah berubah menjadi macan.

SEKIAN


Sabtu, 03 November 2012

NILAI BUDAYA DALAM CERITA SABUNZU SAROKNG ANTU


NILAI BUDAYA DALAM CERITA SABUNZU SAROKNG ANTU SASTRA LISAN 
DAYAK SIMPAKNG KABUPATEN KETAPANG
OLEH: BASTIAN ARISANDI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Usaha pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional tidak terlepas dari upaya penggalian sumber-sumber kebudayaan daerah yang banyak tersebar dari seluruh tanah air termasuk di Kalimantan Barat. Usaha tersebut mempunyai arti penting tidak hanya bagi kebudayaan itu sendiri melainkan juga kebudayaan nasional. Dalam hal ini, usaha pengkajian sastra daerah khususnya yang mencangkup cerita rakyat akan terus diupayakan sehingga cerita rakyat tersebut tetap lestari dan tidak punah.
Hal ini dinilai penting, karena dewasa ini sastra daerah terutama cerita rakyat seolah-olah telah terlupakan. Padahal, cerita rakyat banyak mengandung nilai-nilai yang sangat bermanfaat serta mempunyai makna-makna dalam bentuk isi yang perlu diwarisi oleh pemakainya. Selain itu, kebudayaan daerah khususnya yang mencangkup cerita rakyat merupakan budaya leluhur dan wahana untuk berkomunikasi antar masyarakat lama dengan masyarakat sekarang.
Cerita rakyat merupakan bagian dari sastra daerah yaitu suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah itu dapat dikatakan masih berkisar pada sastra lisan. Sastra lisan merupakan bagian dari karya sastra.
Satu diantara bentuk sastra lisan adalah cerita rakyat. Cerita rakyat sering dikaitkan dengan folklor. Folklor adalah sebagian kebudayaan, suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (minemonic device) (Danandjaja, 1986: 2). Berdasarkan pendapat tersebut disimpulkan bahwa cerita rakyat merupakan bagian dari folklor karena cerita rakyat merupakan warisan yang diturunkan secara turun-temurun secara lisan.
Cerita rakyat merupakan satu diantara sastra daerah yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau dituturkan secara lisan. Oleh karena itu, maka cerita rakyat disebut sastra lisan. Demikian juga dengan cerita Sabunzu Sarokng Antu (kemudian disingkat SSA) merupakan bagian dari sastra lisan yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat Dayak Simpakng Kecamatan Simpang Dua Kabupaten Ketapang.
Cerita SSA merupakan cerita Dayak Simpakng yang dianggap beruntung. Ini dikarenakan tim peneliti dari Institut Dayakologi pernah melakukan proses transkripsi terhadap cerita SSA. Hal ini merupakan satu diantara usaha dalam mempertahankan cerita SSA agar tetap dilestarikan.
Keberuntungan cerita SSA hanya sebatas pernah didokumentasi dan ditranskripsi saja. Sejak didokumentasikan dan ditranskripsikan oleh tim dari Institut Dayakologi hingga sekarang cerita ini dibiarkan terbengkalai. Dalam usaha melanjutkan usaha dari Tim institut Dayakologi tersebut, diperlukan usaha nyata agar cerita SSA tidak mengalami stagnasi penelitian. Hal ini juga menunjukkan adanya usaha agar cerita SSA tetap dapat  dilestarikan dan mampu menggugah generasi muda Dayak Simpakng untuk tetap menaruh minat dan perhatian pada cerita rakyat maupun sastra daerah lainnya. Jika tidak maka sastra daerah umumnya dan cerita rakyat khusunya akan menjadi sastra yang “mati”. Senada dengan Syam (2010: 6) mengemukakan “jika tidak ada lagi yang berminat dengan sebuah sastra daerah, maka akan menjadi sastra yang statis, bahkan menjadi sastra yang mati”. Memperhatikan hal-hal di atas, mau tidak mau penelitian terhadap cerita SSA harus segera dilaksanakan.
Cerita SSA merupakan cerita yang ditenggarai banyak mengandung nilai-nilai budaya yang mampu dijadikan alat pendidikan. Maka cerita SSA menjadi satu diantara cerita rakyat Kalimantan Barat yang telah mendapat rekomendasi dari Kakanwil Depdikbud Provinsi Kalimantan Barat sebagai bahan pengajaran muatan lokal pada jenjang pendidikan SD, SLTP dan SLTA di Kalimantan Barat. Hal ini merupakan suatu kebanggaan tersendiri, mengingat begitu banyaknya cerita rakyat yang ada di Kalimantan Barat. Mengingat pentingnya cerita SSA di atas, penelitian terhadap cerita SSA harus segera dilaksanakan secepatnya.
Seiring dengan perkembangan zaman, perlahan tetapi pasti kebudayaan daerah mulai tergusur oleh perkembangan itu sendiri. Tak terelakkan, cerita rakyat yang merupakan tradisi lisan mulai tergusur oleh perkembangan tersebut. Djuweng (2003: ix) mengemukakan betapa tidak, selama ini anak-anak Simpakng yang sudah berpendidikan ala kota (baca barat) tidak hanya cenderung melupakan tradisi lisan mereka, tetapi juga orang-orang yang berada pada barisan paling depan yang menggusur keberadaan sastra lisan. Dari pendapat ini terungkap sebuah fakta bahwa kaum muda yang berpendidikan merupakan bagian terdepan dalam menggusur sastra lisan. Hal ini sungguh ironis, seharusnya kaum muda dan berpendidikanlah yang merupakan barisan terdepan dalam melestarikan tradisi lisan yang ada pada masyarakat Dayak Simpakng.
Sastra lisan secara umum memuat berbagai aspek kearifan lokal dari pemiliknya. Sebagai sebuah kearifan lokal yang menjadi identitas pemiliknya maka sudah layak dan seharusnya cerita SSA dilestarikan. Kearifan lokal yang merupakan warisan dari nenek moyang tidak hanya dilestarikan namun hendaknya dihargai dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Memperhatikan nilai kearifan lokal tersebut cerita SSA sangat mendesak dan harus secepatnya diteliti.
Sehubungan dengan hal-hal  di atas peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian terhadap cerita SSA. Penelitian terhadap cerita rakyat, khususnya cerita SSA bukan semata-mata untuk menampilkan sikap kedaerahan, tetapi juga sebagai usaha untuk melestarikan unsur kebudayaan yang hingga saat sekarang nyaris punah. Adanya penelitian ini diharapkan mampu untuk menggugah para generasi muda agar berpartisipasi aktif dalam mempertahankan aset daerah yang sangat berharga ini.
Adapun alasan peneliti memilih cerita SSA sebagai cerita yang diteliti dengan memerhatikan hal-hal sebagai berikut.
1.      Cerita SSA banyak mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang mau tidak mau harus dilestarikan bahkan kearifan lokal ini tidak hanya dilestarikan tetapi dihargai dan lebih penting menjadi panutan dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini terutama nilai budaya, karena menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat.
2.      Cerita SSA merupakan cerita yang meskipun sudah mendapat rekomendasi dari Depdikbud Kalimantan Barat sebagai mata pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah namun kenyataan yang ada justru cerita ini dibiarkan terbengkalai sehingga diperlukan penelitian lanjutan agar eksistensi cerita SSA di Kalimantan Barat tetap terjaga. Maka peneltitian terhadap cerita SSA harus secepatnya dikaji secara lebih mendalam.
3.      Satu di antara langkah logis peneliti sebagai bagian dari masyarakat Dayak Simpakng dalam upaya menjaga kebudayaan yaitu dengan melakukan penelitian terhadap cerita SSA. Hal ini dimaksudkan agar kaum muda lainnya dan masyarakat Dayak Simpakng secara keseluruhan tergugah untuk mempertahankan cerita lainnya maupun kebudayaan lain yang terdapat pada masyarakat Dayak Simpang itu sendiri.
Cerita rakyat merupakan bentuk kebudayaan yang banyak mengandung nilai-nilai yang mampu menjadi pedoman, acuan dan pegangan dalam berkehidupan. Nilai merupakan ukuran baik-buruk, benar-salah, boleh-tidak boleh, indah-tidak indah suatu perilakuatau pernyataan yang berlaku dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat. Nilai dalam suatu masyarakat memiliki tingkat-tingkat tertentu yang disesuaikan dengan kebiasaan hidup masyarakat yang bersangkutan ( Fatimah, 2008: 120).
Satu di antara bentuk nilai tersebut adalah nilai budaya. cerita SSA merupakan bentuk sastra lisan yang mengandung nilai budaya. Nilai budaya merupakan unsur penting agar manusia berperilaku dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Nilai budaya memegang peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta bertanah air.
Nilai budaya membahas tiga persoalan pokok yaitu  nilai budaya yang berhubungan dengan Tuhan, nilai budaya berhubungan dengan sesama manusia, dan nilai budaya hubungan manusia dengan alam. Dalam hubungannya dengan Tuhan, nilai budaya memandang bahwa manusia harus bersyukur kepada Tuhan, manusia berdoa dan meminta pertolongan pada Yang Mahakuasa. Dalam hubungannya dengan sesama manusia, nilai budaya menyangkut aspek kepribadian dan aspek sosial. Artinya terdapat nilai yang berasal dari diri individu maupun nilai yang berasal dari hubungan sosial. Dalam hubungannya dengan alam, manusia merupakan makhluk yang berhasil mengolah dan memanfaatkan alam, manusia memiliki akal dan pikiran untuk memanfaatkan apa yang sudah disediakan oleh alam.
Nilai budaya yang tercermin dalam cerita SSA diharapkan mampu menjadi pedoman, acuan dan pegangan  masyarakat Dayak Simpakng. Adanya penelitian mengenai nilai budaya tidak hanya dijadikan pedoman, acuan dan pegangan bagi masyarakat Dayak Simpakng saja tetapi juga untuk cakupan masyarakat yang lebih luas.
Adapun alasan peneliti memilih nilai budaya sebagai kajian yang akan diteliti dengan pertimbangan sebagai berikut.
1.      Nilai budaya merupakan unsur penting dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Dalam hal ini nilai budaya dijadikan sebagai pedoman dan acuan dalam bertindak, bertingkah laku, maupun bertutur kata.
2.      Nilai budaya mampu membentuk kepribadian masyarakat yang bertindak dan bertingkah laku sesuai dengan norma-norma yang ada, sesuai dengan sopan-santun dan tata krama dalam masyarakat.
3.      Adanya nilai budaya maka manusia bukan hanya menghormati Tuhan sebagai pencipta tetapi juga saling menghormati antar sesama manusia bahkan dengan alam yang juga merupakan ciptaan Tuhan.
Dihubungkan dengan pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA, penelitian ini bermanfaat sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Kelas X Kompetensi Dasar (KD) 1. Memahami siaran atau cerita yang disampaikan secara langsung /tidak langsung. Standar Kompetensi (SK) 1.2 Mengidentifikasi unsursastra (intrinsik dan ekstrinsik) suatu cerita yang disampaikan secara langsung/tidak langsung.  
Agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan baik bagi peneliti terdahulu, peneliti sendiri maupun kepada pihak-pihak yang bersangkutan, telah dilakukan kajian kepustakaan guna menemukan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan nilai budaya. Sejauh ini peneliti menemukan beberapa penelitian terdahulu yang relevan sebagai berikut.

1.      1. Penelitian oleh Rubi Maharmarani, 2007 yang berjudul Nilai Budaya dalam Novel Kapak Karya Dewi Linggasari. Adapun kesimpulan dari penelitian Rubi Maharani yakni (a) nilai religi yang terdapat dalam novel Kapak karya Dewi Linggasari meliputi roh nenek moyang yang sebagai sumber kekuatan, roh jahat penyebab timbulnya bencana, ukiran sebagai wujud penghormatan, upacara adat sebagai hari pembelaan para istri, upacara adat sebagai wujud tanggung jawab, upacara pembuatan patung Mbis untuk melestarikan tradisi dan ajaran mengenai konsep penciptaan, (b) nilai sosial yang terdapat dalam novel Kapak karya Dewi Linggasari meliputi kekerasan sebagai penyelesaian masalah dalam rumah tangga, sikap acuh terhadap penderitaan orang lain, sikap kerja keras para wanita Asmat, gotong royong dalam melakukan pekerjaan dan sikap kasih sayang terhadap anggota keluarga.
2.     2.  Penelitian oleh Fitri, 2011 yang berjudul Nilai-nilai Budaya dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburahman El Shirazy. Kesimpulan dari penelitian Fitri yakni (a) nilai budaya yang terlihat pada hakikat hidup manusia dalam KCB adanya sikap kerja keras, sabar, waspada, berprinsip, dan bertanggung jawab dalam menjalani kehidupan yang dijalankan dan dalam menentukan pilihan di dalam kehidupan, (b) nilai budaya yang terlihat pada hubungan manusia dengan manusia dalam novel KCB adanya sikap tolong-menolong, cinta kasih, rendah hati, bertanggung jawab dan saling menghormati yang dilakukan dengan sesama manusia dalam menjalankan kehidupan.

3.      3. Penelitian oleh Fitri Junia, 2011 yang berjudul Nilai-nilai Budaya dalam Kumpulan Cerpen Indonesia Terbaik 2009 (20 Cerpen Anugrah Sastra Pena Kencana). Adapun kesimpulan dari penelitian Fitri junia yakni (a) nilai-nilai budaya berupa manusia yang menjalin hubungan baik dengan sesama, adanya konflik dengan orang lain, dam konflik dalam diri sendiri dilihat dari hubungan manusia dengan manusia yang tampak melalui ucapan tokoh, perilaku tokoh, dan latar peristiwa ditemukan dalam kumpulan cerpen Indonesia terbaik, (b) nilai-nilai budaya berupa meyakini keberadaan Tuhan dan taat melaksanakan ajaran-Nya, meyakini keberadaan Tuhan tetapi ingkar terhadap ajaran-Nya dan meyakini kekuatan supranatural seperti mengenai hal-hal gaib dan roh-roh halus, (c) nilai-nilai budaya berupa tunduk pada alam, menjaga keselarasan alam, dan berhasrat menguasai alam.
Berdasarkan penelitian-penelitian di atas tampak perbedaan dengan penelitian ini yaitu pada cerita yang akan diteliti dan juga lokasi penelitian. Penelitian ini meneliti sastra lisan yaitu cerita Sabunzu Sarokng Antu dengan lokasi penelitian di Desa Semandang Kanan Kecamatan Simpang Dua Kabupaten Ketapang.

Minggu, 15 Juli 2012

Nilai Budaya dan Bentuknya


NILAI BUDAYA 

2.4.1 Hakikat dari Hidup Manusia
            Pandangan budaya sebagai hakikat hidup manusia bahwa sebagian orang tidak mensyukuri hidup bahkan menganggap hidup adalah sesuatu yang buruk. Sementara itu pandangan budaya yang lain mengatakan orang yang mampu mensyukuri hidup dan menikmati hidup menganggap hidup sebagai sesuatu yang baik dan menyenangkan apabila manusia itu mengusahakannya (Koentjaraningrat, 1985: 28). Dari pengertian tersebut tampak bahwa hakikat hidup manusia adalah berbeda. Sesuai dengan pendapat Soelaeman (2007: 42) hakikat hidup untuk setiap kebudayaan berbeda secara ekstrem, ada yang berusaha untuk memadamkan hidup, ada pula yang dengan pola-pola kelakuan tertentu menganggap hidup sebagai suatu hal yang baik.
            Menurut Koentjaraningrat (1999: 388) dalam menghadapi hidup, orang harus menilai tinggi unsur-unsur yang menggembirakan dari hidup dan bahwa ada kesengsaraan, bencana, dosa dan keburukan dalam hidup memang harus disadari tetapi hal itu semunya adalah untuk diperbaiki. Lebih lanjut menurut Koentjaraningrat (1985: 28) ada kebudayaan yang memandang hidup manusia itu pada hakikatnya suatu hal yang buruk dan menyedihkan, dan karena itu harus dihindari. Adapun kebudayaan-kebudayaan yang lain memandang hidup manusia itu pada hakekatnya buruk, tetapi manusia dapat mengusahakan untuk menjadikan hidup suatu hal yang baik dan menggembirakan.
2.4.2 Hakikat dari Karya Manusia
Menurut Koentjaraningrat (1999: 388) sebagai dorongan dari karya manusia harus dinilai tinggi konsepsi bahwa orang mengintensifkan karyanya untuk menghasilkan lebih banyak karya lagi. Kepuasaan terletak dalam hal berkerja itu sendiri. Pandangan mengenai hakikat karya manusia juga dikemukakan oleh Soelaeman (2007: 42) bahwa setiap kebudayaan hakikatnya berbeda-beda, diantaranya ada yang beranggapan bahwa karya bertujuan untuk hidup, karya memberikan kedudukan atau kehormatan, karya merupakan gerak hidup untuk menambah karya lagi.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa manusia berkarya dengan tujuan tertentu. Ada yang bertujuan dengan berkarya maka akan menambah atau bahkan menghasilkan karya lagi, ada yang beranggapan berkarya itu untuk tujuan hidup, ada juga berkarya dengan tujuan untuk mecari kedudukan atau kehormatan.
2.4.3 Hakikat Kedudukan Manusia dari Ruang dan Waktu
            Menurut Koentjaraningrat (1999: 388) manusia dalam segala aktivitas hidup dapat sebanyak mungkin berorientasi ke masa depan. Hal senada juga dikemukakan oleh Soelaeman (2007: 42) bahwa hakikat waktu untuk setiap kebudayaan berbeda. Ada yang berpandangan mementingkan orientasi masa lampau, ada pula yang berpandangan untuk masa kini atau yang akan datang.
            Menurut Koentjaraningrat (1985: 28) mengenai masalah waktu ada kebudayaan-kebudayaan yang memandang penting dalam kehidupan manusia itu masa lampau. Dalam hal ini orang-orang akan lebih sering mengambil pedoman dalam kelakuannya contoh-contoh dan kejadian-kejadian dalam masa yang lampau. Lebih lanjut Koentjaraningrat (1985: 28) mengemukakan banyak pula kebudayaan yang hanya mempunyai suatu pandangan waktu yang sempit. Kebudayaan-kebudayaan yang lain lagi malah justru lebih mementingkan pandangan yang berorientasi sejauh mungkin terhadap masa yang akan datang.
            Berdasarkan beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa mengenai waktu suatu kebudayaan itu terdapat perbedaan-perbedaan. Adapun perbedaan tersebut ada yang beranggapan lebih mementing masa lampau, ada kebudayaan yang memikirkan pandangan mengenai waktu yang sempit namun ada juga yang memandang waktu berorientasi jauh ke masa yang akan datang.
2.4.4 Hakikat Hubungan Manusia dengan Alam Sekitarnya
            Menurut Koentjaraningrat (1999: 388) dalam hal menanggapi alam, orang harus merasakan suatu keinginan untuk dapat menguasai alam dan kaidah-kaidahnya. Menurut Soelaeman (2007: 42) ada kebudayaan yang menganggap manusia harus mengeksploitasi alam atau memanfaatkan alam semaksimal mungkin ada pula kebudayaan yang beranggapan bahwa manusia harus harmonis dengan alam dan manusia harus menyerah kepada alam.
            Koentjaraningrat (1985: 29) mengemukakan ada kebudayaan-kebudayaan yang memandang alam itu suatu hal yang begitu dahsyat, sehingga manusia pada hakekatnya hanya bisa bersifat menyerah saja tanpa ada banyak yang dapat diusahakannya. Namun banyak pula kebudayaan lain yang memandang alam itu sebagai suatu hal yang bisa di lawan oleh manusia dan kewajiban manusia untuk selalu berusaha menaklukkan alam. Kebudayaan lain lagi menganggap bahwa manusia itu hanya bisa berusaha mencari keselarasan dengan alam (Koentjaraningrat, 1985: 29).
            Berdasarkan teori-teori tersebut dapat disimpulkan bahwa hakikat manusia dengan alam pada setiap kebudayan itu berbeda. Sejumlah kebudayaan menganggap alam harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Tetapi ada juga kebudayaan-kebudayaan yang beranggapan bahwa manusia harus tunduk kepada alam. Kebudayaan lainnya memandang alam bisa di lawan oleh manusia.
2.4.5 Hakikat Hubungan Manusia dengan Sesamanya
            Menurut Koentjaraningrat (1999: 388) dalam membuat keputusan-keputusan orang harus bisa berorientasi ke sesamanya, menilai tinggi kerja sama dengan orang lain, tanpa meremehkan kualitas individu dan tanpa menghindari tanggung jawab sendiri. Lebih lanjut Koentjaraningrat (1985: 29) mengemukakan ada kebudayaan-kebudayaan yang amat mementingkan hubungan vertikal antara manusia dengan sesamanya. Dalam pola kelakuannya, manusia yang hidup dalam suatu kebudayaan serupa itu akan berpedoman kepada tokoh-tokoh pemimpin, orang-orang senior atau orang-orang atasan.
Kebudayaan lain lebih mementingkan hubungan horizontal antara manusia dengan sesamanya. Orang dalam suatu kebudayaan serupa itu amat merasa tergantung kepada sesamanya dan usaha untuk memelihara hubungan baik dengan tetangga dan sesamanya merupakan suatu hal yang amat penting dalam hidup (Koentjaraningrat, 1985: 29).

ISTILAH ASING BAHASA DAYAK SIMPAKNG


Istilah-istilah Bahasa Dayak Simpakng dalam Cerita Sabunzu Sarokng Antu
No.
Istilah
Arti
1.

2.

3.

4.





 
5.
6.
7.
8.

9.


10.
11.




12.


13.

14.
15.

16.

17.
18.



19.


20.

21.


22.

23.

24.


25.
26.

27.



Raja Macan

Raja Beruang

Raja Buta

Golakng golo paluncor bajo, golakng golit lintah mangingap, palokam lidah antdu, pangorikng tanok tamo, palias batu bomatn, kopoh batu barani, korak pinyakng balabatn, batu api kuasa manyadi, botuh olakng kuasa tarobakng, batu tingang kuasa neh banayang.
Kalas Bajomor
Tarige
Isi dalam
Laut Manampurokng Gangarak Mananualakng
Sabunzu Sarokng Antu


Tajau Kaca
Bunga Idop Pamalek Mati




Jimat


Buakng Dapat

Mansigit Tiang Tunggal
Alu

Cucur

Cawat
Pansirap



Betang


Panyabab Lancang Kuning

Negeri Radetn Singkong Simpe Benyawe Galang Runot

Negeri Pancoi Manyiboi Urai Badunai

Panyampo

Sobat


Pulau Santatn Pulau Tamolatn
Mengayau

Tempayan Tajau
Macan yang sebenarnya hantu tetapi menyerupai macan. Sehingga memiliki kekuatan sakti.
hantu yang menyerupai beruang yang memiliki kekuatan sakti.
Roh penguasa lautan berupa raksasa yang sakti dan memiliki banyak jimat.
Nama jimat-jimat Salabatn yang di bawa ketika pergi mencari Raja Macan, Raja Beruang dan Raja Buta.




Nama tempat hidupnya Raja Macan.
Satu penambin besar.
Jeroan binatang.
Tempat hidupnya Raja Buta penguasa lautan.

Seorang anak bungsu yang lahir dengan kulit seperti kulit binatang, maka dinamakan Sabunzu Sarokng Antu.
Kaca yang mampu melihat seluruh isi jagad raya.
Bunga tersebut jika di tanam dapat memberikan isyarat berupa jika bunga itu layu Sabunzu sedang berperang, jika bunga mati maka ia pun mati. Tetapi jika bunga itu segar maka ia berada dalam keadaan sehat walafiat.
Benda yang memiliki kekuatan gaib yang bisa digunakan untuk menjaga diri ataupun berperang.

Nama panggilan Sabunzu ketika tinggal bersama keluarga Tangak Onong dan Tongkakng Tobu.
Dunia lain yang terdapat di langit.
Alat untuk menumbuk padi, daun singkong, biji kopi, biasanya terbuat dari kayu yang keras.
Makanan sederhana yang terbuat dari beras pulut yang di goreng seperti telur mata sapi.
Pakaian untuk laki-laki pada jaman dulu.
Bubuk yang terbuat dari berbagai tanaman yang berfungsi untuk melumpuhkan lawan, atau membuat orang tidak sadarkan diri, digunakan dengan cara ditaburkan disertai dengan mantra.
Rumah tempat tinggal Suku Dayak jaman dulu. Biasanya berbentuk tinggi dari tanah dan berupa memanjang dengan beberapa buah kamar.
Perahu Sabunzu yang sakti karena bisa berjalan di sungai tanpa ada yang mendayung.
Negeri Radetn Singkong yang telah membunuh dan membawa kepala keluarga Putri Dengor Mas.

Negeri tempat tinggalnya keluarga Putri Dengor Mas.
Alat untuk membawa barang yang di pakai di kepala. Alat ini terbuat dari kulit kayu.
Makhluk peliharaan orang-orang yang sakti, sobat ini memiliki kesaktian yang dapat membantu tuannya ketika dibutuhkan.
Negeri tempat ayah dan ibu Sabunzu tinggal.
Membunuh lawan dengan memancung kepalanya sampai putus.
Tempayan dengan ukuran yang sangat besar.