NILAI BUDAYA
2.4.1 Hakikat dari Hidup
Manusia
Pandangan budaya sebagai hakikat
hidup manusia bahwa sebagian orang tidak mensyukuri hidup bahkan menganggap
hidup adalah sesuatu yang buruk. Sementara itu pandangan budaya yang lain
mengatakan orang yang mampu mensyukuri hidup dan menikmati hidup menganggap
hidup sebagai sesuatu yang baik dan menyenangkan apabila manusia itu
mengusahakannya (Koentjaraningrat, 1985: 28). Dari pengertian tersebut tampak
bahwa hakikat hidup manusia adalah berbeda. Sesuai dengan pendapat Soelaeman
(2007: 42) “hakikat
hidup untuk setiap kebudayaan berbeda secara ekstrem, ada yang berusaha untuk
memadamkan hidup, ada pula yang dengan pola-pola kelakuan tertentu menganggap
hidup sebagai suatu hal yang baik”.
Menurut Koentjaraningrat (1999: 388)
“dalam menghadapi hidup,
orang harus menilai tinggi unsur-unsur yang menggembirakan dari hidup dan bahwa
ada kesengsaraan, bencana, dosa dan keburukan dalam hidup memang harus disadari
tetapi hal itu semunya adalah untuk diperbaiki”. Lebih lanjut menurut Koentjaraningrat
(1985: 28) “ada
kebudayaan yang memandang hidup manusia itu pada hakikatnya suatu hal yang
buruk dan menyedihkan, dan karena itu harus dihindari”. Adapun
kebudayaan-kebudayaan yang lain memandang hidup manusia itu pada hakekatnya
buruk, tetapi manusia dapat mengusahakan untuk menjadikan hidup suatu hal yang
baik dan menggembirakan.
2.4.2 Hakikat dari Karya
Manusia
Menurut
Koentjaraningrat (1999: 388) “sebagai
dorongan dari karya manusia harus dinilai tinggi konsepsi bahwa orang
mengintensifkan karyanya untuk menghasilkan lebih banyak karya lagi”. Kepuasaan terletak
dalam hal berkerja itu sendiri. Pandangan mengenai hakikat karya manusia juga
dikemukakan oleh Soelaeman (2007: 42) “bahwa
setiap kebudayaan hakikatnya berbeda-beda, diantaranya ada yang beranggapan
bahwa karya bertujuan untuk hidup, karya memberikan kedudukan atau kehormatan,
karya merupakan gerak hidup untuk menambah karya lagi”.
Berdasarkan
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa manusia berkarya dengan tujuan
tertentu. Ada yang bertujuan dengan berkarya maka akan menambah atau bahkan
menghasilkan karya lagi, ada yang beranggapan berkarya itu untuk tujuan hidup,
ada juga berkarya dengan tujuan untuk mecari kedudukan atau kehormatan.
2.4.3 Hakikat Kedudukan
Manusia dari Ruang dan Waktu
Menurut
Koentjaraningrat (1999: 388) “manusia
dalam segala aktivitas hidup dapat sebanyak mungkin berorientasi ke masa depan”. Hal senada juga
dikemukakan oleh Soelaeman (2007: 42) “bahwa
hakikat waktu untuk setiap kebudayaan berbeda. Ada yang berpandangan
mementingkan orientasi masa lampau, ada pula yang berpandangan untuk masa kini
atau yang akan datang”.
Menurut Koentjaraningrat (1985: 28) “mengenai masalah waktu
ada kebudayaan-kebudayaan yang memandang penting dalam kehidupan manusia itu
masa lampau”.
Dalam hal ini orang-orang akan lebih sering mengambil pedoman dalam kelakuannya
contoh-contoh dan kejadian-kejadian dalam masa yang lampau. Lebih lanjut
Koentjaraningrat (1985: 28) mengemukakan “banyak
pula kebudayaan yang hanya mempunyai suatu pandangan waktu yang sempit. Kebudayaan-kebudayaan
yang lain lagi malah justru lebih mementingkan pandangan yang berorientasi
sejauh mungkin terhadap masa yang akan datang”.
Berdasarkan beberapa teori di atas
dapat disimpulkan bahwa mengenai waktu suatu kebudayaan itu terdapat
perbedaan-perbedaan. Adapun perbedaan tersebut ada yang beranggapan lebih
mementing masa lampau, ada kebudayaan yang memikirkan pandangan mengenai waktu
yang sempit namun ada juga yang memandang waktu berorientasi jauh ke masa yang
akan datang.
2.4.4 Hakikat Hubungan Manusia
dengan Alam Sekitarnya
Menurut Koentjaraningrat (1999: 388)
“dalam hal menanggapi
alam, orang harus merasakan suatu keinginan untuk dapat menguasai alam dan
kaidah-kaidahnya”.
Menurut Soelaeman (2007: 42) “ada
kebudayaan yang menganggap manusia harus mengeksploitasi alam atau memanfaatkan
alam semaksimal mungkin ada pula kebudayaan yang beranggapan bahwa manusia
harus harmonis dengan alam dan manusia harus menyerah kepada alam”.
Koentjaraningrat (1985: 29)
mengemukakan “ada
kebudayaan-kebudayaan yang memandang alam itu suatu hal yang begitu dahsyat,
sehingga manusia pada hakekatnya hanya bisa bersifat menyerah saja tanpa ada
banyak yang dapat diusahakannya”.
Namun banyak pula kebudayaan lain yang memandang alam itu sebagai suatu hal
yang bisa di lawan oleh manusia dan kewajiban manusia untuk selalu berusaha
menaklukkan alam. Kebudayaan lain lagi menganggap bahwa manusia itu hanya bisa
berusaha mencari keselarasan dengan alam (Koentjaraningrat, 1985: 29).
Berdasarkan teori-teori tersebut
dapat disimpulkan bahwa hakikat manusia dengan alam pada setiap kebudayan itu
berbeda. Sejumlah kebudayaan menganggap alam harus dimanfaatkan semaksimal
mungkin. Tetapi ada juga kebudayaan-kebudayaan yang beranggapan bahwa manusia
harus tunduk kepada alam. Kebudayaan lainnya memandang alam bisa di lawan oleh
manusia.
2.4.5 Hakikat Hubungan
Manusia dengan Sesamanya
Menurut Koentjaraningrat (1999: 388)
“dalam membuat
keputusan-keputusan orang harus bisa berorientasi ke sesamanya, menilai tinggi
kerja sama dengan orang lain, tanpa meremehkan kualitas individu dan tanpa
menghindari tanggung jawab sendiri”.
Lebih lanjut Koentjaraningrat (1985: 29) mengemukakan “ada
kebudayaan-kebudayaan yang amat mementingkan hubungan vertikal antara manusia
dengan sesamanya”.
Dalam pola kelakuannya, manusia yang hidup dalam suatu kebudayaan serupa itu
akan berpedoman kepada tokoh-tokoh pemimpin, orang-orang senior atau
orang-orang atasan.
Kebudayaan
lain lebih mementingkan hubungan horizontal antara manusia dengan sesamanya.
Orang dalam suatu kebudayaan serupa itu amat merasa tergantung kepada sesamanya
dan usaha untuk memelihara hubungan baik dengan tetangga dan sesamanya
merupakan suatu hal yang amat penting dalam hidup (Koentjaraningrat, 1985: 29).
0 komentar:
Posting Komentar