Rabu, 30 Maret 2011

Belaian Kasih Bunda

Belaian Kasih Bunda

Oleh:  Asteria Niarti



Kasih seorang ibu tak berhingga
“Gue hamil!!!” seruan rigan dari mulut penuh dengan jejalan asap rokok itu membuat mataku membelalak.
“Biasa aja dong, Nov, jangan heboh gitu! Besok gue mau ke dukun kok,” ujaran itu mengorek rasa keingintahuanku.
“Mau ngapain? “ tak urung pertanyaan itu meluncur juga dari mulutku, gelakan tawa memburai di mulut Ratih.
“Ha..ha..ha, tulalit lu, ya Nov. Mau ngapain lagi gue kalau bukan aborsi?” aku semakin terbelalak.
“Ab...aborsi?”.
“Kan gue bilang ‘biasa aja deh’! kalau elu kampungan seperti ini, elu bakalan jantungan gara-gara gue. Gue ini orangnya bebas, gue cewek merdeka, bukan cewek macam zaman Siti Nurbayana kayak dulu. Makanya elu harus menyesuaikan diri dengan gue yang sekarang, oke?”


Aku hanya yerdiam, aku takut, Ratih..., mengapa dia sekrang semakin gawat begini sih? Padahal dia adalah yang selama ini kujadikan model seorang remaja gaul, remaja yang oke. Kok...?
Dalam hening, asap rokok yang terselip di antara bibir Ratih tak henti membumbung, kutatap matanya yang menerawang, kosongdan hanya terisikan kehampaan hidup, entahlah... mungkin ia juga telah menggunakan obat-obatan.
Malam itu adalah malam terakhir aku di tempat kost itu dan menemani Ratih. Aku bnar-benar tidak menyangka bahwa ada kemungkinan kami akan bertemu lagi, karena aku pindah kost jauh dari Rumah Metal itu. Dan sengaja mencari suasana yang benar-benar berbeda. Aku luar biasa takut, dengan pergaulan yang dibawa anak-anak metal dan si Ratih. Dan alhamdulilah... aku mendapatkan pergaulan yang lebih mencerahkan kemudian, di tempat kost baru.

***

Empat tahun kemudian...
Udara menyengat, aku berjalan tergesa-gesa. Jubah yang kupakai ternayta cukup mempersulit langkahku.Bagaimana tidak, jubah yang kupinjam dari Mbak Nia ini ternyata kekecilan bagi ukuran badanku. Maklum deh, aku kan baru aja hijrah, belum punya banyak baju-baju yang menutup seluruh aurat. Jadi aku harus minjam deh...
Aku masih terus saja disibukkan dengan masalah jubah motif unga-bunga yang kekecilan ini, ketika tanpa kusadari, aku menabrak jatuh seorang wanita bergincu tebal dan memakai rok mini itu.
“Dbruuk..!”
Aku hanya busa menatap kertas-kertas yang bertebaran dari map kerja yang berjatuhan itu.
“Aww!” teriakan kecil tergumam dari mulut wanita berdandan norak di hadapanku, ia tersungkur. Cepat-cepat aku membantunya berdiri.
“Mm...maaf! Aduh...maaf ya mbak, tidak sengaja!!”
“Mbak...mbek..! gampang banget lu minta maaf? Heh... jalan tuh yang benar dong. Mata lu di mana?” Omelnay sewot. Aku membantu memungut map kerjanya yang berserakan di jalan. Namun baru saja aku hendak memberikan map itu kepadanya, ketika sekilas kutatap sorot matanya yang kosong, mengingatkanku kembali pada sorot mata seseorang empat tahu yang lalu.
“ Ra..Ratih!” seruku ketika berhasil mengingat nama dari sosok itu, masya Allah ia telah berubah sekali! Ia menatapku curiga.
“Siapa ya?” Ia bertanya menyelidik, sepertinya ingat-ingat lupa gitu.
“Nov, teman sekost di Rumah Metal dulu”, sahutku sambil tersenyum selebar mungkin, tak urung belalakan mata Ratih ikut pula melebar, setelah itu, kami segera mencari tempat yang aman untuk mengobrol.
“Kamu berubah banget loh,” seruku membuka pembicaraan, Ratih hanya melirik ketus ke arahku.
Elu apalagi!” ujarnya singkat, aku tersenyum bangga sambil melirik jilbab yang kukenakan. Memang, seruku dalam hati, lalu akupun tertawa sendiri karena si Ratih tidak mau ikitan, he...he...
Warung bakso ini begitu ramai. Kami duduk di bangku paling pojok dekat jendela. Angin semilir yang masuk membuat jibabku melambai pelan, aku masih menatap Ratih yang seakan berada di hadapanku, gincu tebal, rok mini, dan map-map yang dibawanya memancingku untuk menanyakan sesuatu padanya.
“Kamu kerja di mana?” tanyaku. Ratih menatapku tak suka.
“Kantor papa gue,” jawabnya dingin, aku aja heran, padahal dulu Ratih orang yang paling ramah dengan senyumnya (malah sepertinya keterlaluan). Kok sekarang “cool” begini sih?
“Kenapa sih kamu aneh?” tanyaku lagi, berusaha menyeruak penasaran di hati, Ratih semakin menyipitkan matanya, ia menatapku serius, lalu tiba-tiba saja ia mengacak-acak rambutnya.
“Ahh... gue nggak tahu deh, sejak si Rita, anak gue lahir, gue jadi sering darah tinggi.” Aku mlongo. Masya Allah! Aku lupa dengan alasanku sendiri waktu meninggalkannya empat tahun yang lalu. Ratih sudah mempunyai anak?
“Dulunya sih gue mau aborsi, tapi kan dosa ya?” Alhamdulilah. Ratih masih mengenal dosa, tapi...
“Tapi aktu anak gue lahir, gue malah menyesal sendiri. Gue kan masih muda, mengapa tidak menikmati hidup dahulu? Udah kayak mpok-mpok aja ngendon di rumah terus. Emansipasi wanita dong! Makanya gue cari pekerjaan di kantor papi gue.”
Ha? Aku terbengong.
Entahlah, sejauh mana Ratih, sahabat lamaku ini, mengenal emansipasi yang digembar-gemborkan para feminis itu, padahal... Islam mempunyai pandangan yang lebih memuliakan wanita.
Tiba-tiba aku jadi gerah sendiri, masalahnya pemahamanku belum mencapai kemampuan memberikan sesuatu untuk Ratih. Bila sajaMbak Nina ada di sini... pikiranku menerawang.
“Sekarang kamu tunggal di mana?” tanyaku. Ratih menggenggam erat geas jus alpukat di hadapannya.
“Ya udah, sekarang elu sekalian aja ikut gue pulang biar tahu rumah gue! Mau nggak?”
Aku berpikir sebentar, dan akhirnya....
Mmm... boleh deh, sekalian mau liat keponakan, he..he..!” mulut Ratih mengerucut, setelah membayar makanan, akupun segera mengikuti Ratih ke rumahnya.

***


Aku menatap rumah itu, rumah yang sederhana, tanpa sebatang tanaman pun yang menghias, kalau dilihat siang bolong begini, maka akan berkesan gersang, lagi pula nyaris semua dindingnya berlapiskan keramik putih, bikin mata jadi silau saja!
“Ma...ma!” seru seorang gadis kecil sambil menggelayutkan tangannya ke rok Ratih, oh... ini toh anaknya! Subhanallah, lucu!
Aku tersenyum ke arah gadis kecil yang manis itu, namun Ratih malah menepis tangan mungil anaknya sendiri dari rok kerjanya.
“ Ah...rese’ lu “ serunya kasar, aku beristigfar, kaget.
“Eh, Ratih! Sama anak sendiri kok begitu sih? Nabi aja kalau sama anak kecil bersikap lembut,” seruku. Namun Ratih malah mendongkol.
“Emangnya dia anak lu?” tanyanya luar biasa kasar. Wah... benar-benar darah tinggi nih! Aku menelan ludah, sifat takutku dulu pada Ratih muncul kembali, Ratih masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintu.
“Dbbrakkk..”
“Uuh...Mama...!” ujaran lemah Rita kecil itu membuatku berjalan menghampiri dan merangkulnya. Namun aku segera tersentak kala melihat memar-memar biru itu melekat di lengannya dengan jumlah yang banyak. Hah? Memar apa ini? Tanya batinku sendiri. Dan pertanyaan itu segera terjawab saat teriakan Ratih menggema di seluruh ruangan (meski dia teriakannya di dalam kamarnya sendiri), yang sempat membuat jantungku berhenti sebentar karena kaget.
Uaaaaa... dasar anak sialaaa...nn!!!” Ratih keluar dari kamarnya dengan emosi yang menyala-nyala.
“Heh, kamu apain kamar mama tadi, hah? Anak gila! Ini surat-surat kerja mama robek semua. Dasar kurang ajar!” Ratih mengacung-acungkan sobekan kertas ke arah Rita.
“Minta dicubit kamu, ya? Heh?” tangan “terampil” Ratih mulai mengambil lengan mungil Rita dan mencubitnya kencang-kencang hingga terciptalah memar biru itu. Rita mengaduh-aduh minta ampun, namun Ratih tidak juga melepaskan cubitannya.
“Dasar anak nakal, anak gila, nggak tahu diri! Nih, rasain!”
“Aduh...aduh...Ratih, jangan dong!” aku mencoba melerainya. Rita menangis kejer.
“Ratih...mengapa sih kamu sadis begini sama anak sendiri? Kamu kejam Rat....!” seruku lagi. Berhasi! Sejenak Ratih menghentikan cubitan tajamnya itu.
“Eh, jangan mentang-mentang teman gue, elu ikut campur maasalah gue ya! Ni anak emang udah keterlaluan. Berapa kali dia menyobek kertas-kertas kerja gue! Emangnya gue kerja buat senang-senang? Setres tahu!”
Lo? Kok jadi ikut marah ke aku juga nih? Aku segera menarik Rita ke dalam dekapanku, yah... daripada nanti kena omel Ratih lagi.
“Iya...iya...aku tahu Rat, kamu setres! Tapi anak seumur Rita ini kan memang tidak tahu apa-apa, setidaknya jangan sampai kamu memukuli dia. Seharusnya kamu didik dia agar tahu mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan.” Yang aku ucapkan ini tdak salah kan? Tetapi Ratih malah sewot padaku.
“Jangan sok deh lu! Gue kan ibunya, gue yang lebih berhak atas Rita,” begitu katanya.
Ratih lalu menarik paksa tubuh kecil Rita dari dekapku, masya Allah! Ia terlalu kasar menarik lengan mungil itu, Rita terlempar ke arah kursi dan... Allahu Akbar!
“Duakkk...”
Aku menutup mata atas kejadian berikutnya. Kepala bocah kecil itu terbentuk pada pinggir kursi. Ia...ia...pingsan! Tergeletak tidak berdaya dengan darah segar nan mengalir di pelipisnya. Sesenggukan kecil mulai bersarang di tenggorokanku,. Tidak...tidak...! Rita!
Kemudian sirene ambulance pun menggaum, sedang aku masih berada dalam keterpekuran air mata, diam seribu bahasa, entah.. bagaimana dengan Ratih? Sempat kulihat, amtanya masihosong seperti lima tahun yang lalu.

***



“Rita, dia...dia...” Ratih tidak kuasa menahan tangisnyayang luluh, remuk redam saat mengabarkan keadaan Rita padaku esok harinya.
“Gue...gue emang sok mengikuti pergaulan bebas, ya? Sampai punya anak segala,” bibir yang kini pucat itu menguraikan kisahnya satu-satu.
“Gue...gue ibu yang jahat, anak salah malah gue pukul, dan tidak gue perbaiki kesalahannya itu. Gue memang tidak bisa mendidik anak!” Ah... betapa penyesalan kemudian tidak berguna. Toh Rita kecil itu kini masih terkulai di rumah sakit dan diagnosa dokter memvoniskan kemungkinan besar Rita akan kehilangan ingatannya, menjadi seperti apa yang pernah bundanya sumpahkan: “gila.”
Ratih berurai air mata,”Gimana dong sekarang Nov? Gue nggak mau anak gue hilang ingatan, papi gue aja udah malu berat waktu tahu Rita lahir nggak punya ayah, apalagi sekarang...,” kalimat itu menggantung, dan aku tidak bisa menjawabnya, bagaimanapun bertawakal pada Allah adalah satu-satunya jalan.

***


Aku melangkah pelan menyusuri trotoar, paahal jubah yang kukenakan sudah tidak kesempitan lagi, inijubah yang baru kemarin kubeli. Tapi pikiranku masih menembus bayangan Ratih saat terpaku menatap al membelai Rita di kamar VIP rumah sakit.
Namun tiba-tiba saja pandanganku tertuju pada seorang bunda yang menyeret paksa anaknya yang meronta-ronta terisak.
“Ampun, Mak! Ampun! Huaaaa...”
“Dasar anak eda, udah siang begini masih juga keluyuran! Tambah dekilnanti badan lu!” ucapnya kasar, tanpa kasih sedikitpun. Aku menggelengkan kepala.
Masya Allah...mengapa sekarang ini semakin banyak saja bunda yang mengucakan sumpah serapah pada anaknya sendiri? Tidak bisakah ia memdidk anakny dengan perkataan yang lebih layak? Dengan belai kasih seorang bunda?
Aku hanya dapat terdiam, menjerit dalam hati, berusaha menghilangkan kegalauan diri, namun ia tidak juga hilang, terus mengalir seiring perjalanan.

***

0 komentar:

Posting Komentar