Minggu, 15 Juli 2012

Nilai Budaya dan Bentuknya


NILAI BUDAYA 

2.4.1 Hakikat dari Hidup Manusia
            Pandangan budaya sebagai hakikat hidup manusia bahwa sebagian orang tidak mensyukuri hidup bahkan menganggap hidup adalah sesuatu yang buruk. Sementara itu pandangan budaya yang lain mengatakan orang yang mampu mensyukuri hidup dan menikmati hidup menganggap hidup sebagai sesuatu yang baik dan menyenangkan apabila manusia itu mengusahakannya (Koentjaraningrat, 1985: 28). Dari pengertian tersebut tampak bahwa hakikat hidup manusia adalah berbeda. Sesuai dengan pendapat Soelaeman (2007: 42) hakikat hidup untuk setiap kebudayaan berbeda secara ekstrem, ada yang berusaha untuk memadamkan hidup, ada pula yang dengan pola-pola kelakuan tertentu menganggap hidup sebagai suatu hal yang baik.
            Menurut Koentjaraningrat (1999: 388) dalam menghadapi hidup, orang harus menilai tinggi unsur-unsur yang menggembirakan dari hidup dan bahwa ada kesengsaraan, bencana, dosa dan keburukan dalam hidup memang harus disadari tetapi hal itu semunya adalah untuk diperbaiki. Lebih lanjut menurut Koentjaraningrat (1985: 28) ada kebudayaan yang memandang hidup manusia itu pada hakikatnya suatu hal yang buruk dan menyedihkan, dan karena itu harus dihindari. Adapun kebudayaan-kebudayaan yang lain memandang hidup manusia itu pada hakekatnya buruk, tetapi manusia dapat mengusahakan untuk menjadikan hidup suatu hal yang baik dan menggembirakan.
2.4.2 Hakikat dari Karya Manusia
Menurut Koentjaraningrat (1999: 388) sebagai dorongan dari karya manusia harus dinilai tinggi konsepsi bahwa orang mengintensifkan karyanya untuk menghasilkan lebih banyak karya lagi. Kepuasaan terletak dalam hal berkerja itu sendiri. Pandangan mengenai hakikat karya manusia juga dikemukakan oleh Soelaeman (2007: 42) bahwa setiap kebudayaan hakikatnya berbeda-beda, diantaranya ada yang beranggapan bahwa karya bertujuan untuk hidup, karya memberikan kedudukan atau kehormatan, karya merupakan gerak hidup untuk menambah karya lagi.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa manusia berkarya dengan tujuan tertentu. Ada yang bertujuan dengan berkarya maka akan menambah atau bahkan menghasilkan karya lagi, ada yang beranggapan berkarya itu untuk tujuan hidup, ada juga berkarya dengan tujuan untuk mecari kedudukan atau kehormatan.
2.4.3 Hakikat Kedudukan Manusia dari Ruang dan Waktu
            Menurut Koentjaraningrat (1999: 388) manusia dalam segala aktivitas hidup dapat sebanyak mungkin berorientasi ke masa depan. Hal senada juga dikemukakan oleh Soelaeman (2007: 42) bahwa hakikat waktu untuk setiap kebudayaan berbeda. Ada yang berpandangan mementingkan orientasi masa lampau, ada pula yang berpandangan untuk masa kini atau yang akan datang.
            Menurut Koentjaraningrat (1985: 28) mengenai masalah waktu ada kebudayaan-kebudayaan yang memandang penting dalam kehidupan manusia itu masa lampau. Dalam hal ini orang-orang akan lebih sering mengambil pedoman dalam kelakuannya contoh-contoh dan kejadian-kejadian dalam masa yang lampau. Lebih lanjut Koentjaraningrat (1985: 28) mengemukakan banyak pula kebudayaan yang hanya mempunyai suatu pandangan waktu yang sempit. Kebudayaan-kebudayaan yang lain lagi malah justru lebih mementingkan pandangan yang berorientasi sejauh mungkin terhadap masa yang akan datang.
            Berdasarkan beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa mengenai waktu suatu kebudayaan itu terdapat perbedaan-perbedaan. Adapun perbedaan tersebut ada yang beranggapan lebih mementing masa lampau, ada kebudayaan yang memikirkan pandangan mengenai waktu yang sempit namun ada juga yang memandang waktu berorientasi jauh ke masa yang akan datang.
2.4.4 Hakikat Hubungan Manusia dengan Alam Sekitarnya
            Menurut Koentjaraningrat (1999: 388) dalam hal menanggapi alam, orang harus merasakan suatu keinginan untuk dapat menguasai alam dan kaidah-kaidahnya. Menurut Soelaeman (2007: 42) ada kebudayaan yang menganggap manusia harus mengeksploitasi alam atau memanfaatkan alam semaksimal mungkin ada pula kebudayaan yang beranggapan bahwa manusia harus harmonis dengan alam dan manusia harus menyerah kepada alam.
            Koentjaraningrat (1985: 29) mengemukakan ada kebudayaan-kebudayaan yang memandang alam itu suatu hal yang begitu dahsyat, sehingga manusia pada hakekatnya hanya bisa bersifat menyerah saja tanpa ada banyak yang dapat diusahakannya. Namun banyak pula kebudayaan lain yang memandang alam itu sebagai suatu hal yang bisa di lawan oleh manusia dan kewajiban manusia untuk selalu berusaha menaklukkan alam. Kebudayaan lain lagi menganggap bahwa manusia itu hanya bisa berusaha mencari keselarasan dengan alam (Koentjaraningrat, 1985: 29).
            Berdasarkan teori-teori tersebut dapat disimpulkan bahwa hakikat manusia dengan alam pada setiap kebudayan itu berbeda. Sejumlah kebudayaan menganggap alam harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Tetapi ada juga kebudayaan-kebudayaan yang beranggapan bahwa manusia harus tunduk kepada alam. Kebudayaan lainnya memandang alam bisa di lawan oleh manusia.
2.4.5 Hakikat Hubungan Manusia dengan Sesamanya
            Menurut Koentjaraningrat (1999: 388) dalam membuat keputusan-keputusan orang harus bisa berorientasi ke sesamanya, menilai tinggi kerja sama dengan orang lain, tanpa meremehkan kualitas individu dan tanpa menghindari tanggung jawab sendiri. Lebih lanjut Koentjaraningrat (1985: 29) mengemukakan ada kebudayaan-kebudayaan yang amat mementingkan hubungan vertikal antara manusia dengan sesamanya. Dalam pola kelakuannya, manusia yang hidup dalam suatu kebudayaan serupa itu akan berpedoman kepada tokoh-tokoh pemimpin, orang-orang senior atau orang-orang atasan.
Kebudayaan lain lebih mementingkan hubungan horizontal antara manusia dengan sesamanya. Orang dalam suatu kebudayaan serupa itu amat merasa tergantung kepada sesamanya dan usaha untuk memelihara hubungan baik dengan tetangga dan sesamanya merupakan suatu hal yang amat penting dalam hidup (Koentjaraningrat, 1985: 29).

0 komentar:

Posting Komentar